Sabtu, 18 Desember 2010

KHAWARIJ DAN MURJIAH

BAB I
PENDAHULUAN

Setiap orang yang ingin mengetahui seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agamanya. Mempelajari teologi akan memberikan kepada seseorang keyakinan yang didasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan zaman.
Teologi dalam Islam dikenal dengan nama “Ilmu Aqaid” atau “Ilmu Tauhid”. Dinamakan demikian karena dalam Islam keyakinan tentang ke-Maha Esaan Tuhan adalah termasuk ajaran yang sangat penting.
Teologi Islam disebut juga “Ilmu Kalam”. Dinamakan demikian, karena masalah “kalam” atau firman Tuhan, yaitu Al- Quran, pernah menjadi polemic yang menimbulkan pertentangan-pertentangan keras dikalangan umat Islam, terutama dalam abad 9 sampai 10 Masehi yang membawa kepada penganiayaan-penganiayaan bahkan pembunuhan- pembunuhan terhadap sesama muslim pada waktu itu.
Dalam Islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi. Ada aliran yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional dan ada pula yang bersifat tengah-tengah antara liberal dan tradisional. Hal ini mungkin ada hikmahnya. Orang yang bersifat tradisional dalam pemikirannya, mungkin lebih sesuai dan dapat menerima paham-paham dari ajaran teologi tradisional. Sedangkan orang yang bersifat liberal dalam pemikirannya, mungkin lebih sesuai dan dapat menerima paham-paham dari ajaran teologi liberal. Dalam soal paham jabariyah (fatalism) dan paham qadariyah (free will) misalnya, orang yang bersifat liberal dalam pemukimannya, tentu tidak dapat menerima paham jabariyah (fatalisme). Baginya paham
qadariyah (free will) yang terdapat dalam ajaran teologi liberalisme yang lebih sesuai dengan jiwa dan pemikirannya. Begitu pula sebaliknya. Adapun beberapa aliran teologi dalam Islam, yaitu aliran Khawarij, aliran Murji’ah, aliran Qadariyah dan aliran Jabariyah.










BAB II
PEMBAHASAN

A. KHAWARIJ
1. Sejarah berdirinya Khawarij
Khawarij adalah aliran kalam tertua dalam Islam. Khawarij muncul di tengah tengah kemelut politik yang terjadi dikalangan muslimin pada pertengahan abad ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, dan merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah. Mereka adalah berasal dari kelompok al-qurra dan al-huffazh, yang setia kepada khalifah. Gerakan Khawarij berakar sejak Khalifah Utsman bin Affan dibunuh, dan kaum Muslimin kemudian mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, kaum Muslimin mengalami kekosongan kepemimpinan selama beberapa hari,maka khalifah mengambil kebijakan . Melihat hal tersebut kelompok al-qurra dan al-huffazh tidak terima.
Kabar kematian 'Ustman kemudian terdengar oleh Mu'awiyyah bin Abu Sufyan. Mu’awiyyah yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan 'Ustman bin Affan, merasa berhak menuntut balas atas kematian 'Ustman. Mendengar berita ini, orang-orang Khawarij pun ketakutan, kemudian menyusup ke pasukan Ali bin Abi Thalib. Mu'awiyyah berpendapat bahwa semua orang yang terlibat dalam pembunuhan 'Ustman harus dibunuh, sedangkan Ali berpendapat yang dibunuh hanya yang membunuh 'Ustman saja, karena tidak semua yang terlibat pembunuhan diketahui identitasnya. Akhirnya meletuslah Perang Siffin karena perbedaan dua pendapat tadi. Kemudian masing-masing pihak mengirim utusan untuk berunding, dan terjadilah perdamaian antara kedua belah pihak. . Melihat kebijakan tahkim tersebut, yang dibuat oleh Khalifah Ali dan Mu’awiyah, maka kelompok al-qurra dan al-huffazh menyaatakan diri keluar dari barisan Khalifah dan membuat kelompok sendiri. Orang-orang Khawarij ini keluar dari kepimpinan Ali bin Abi Thalib dengan dalih salah satunya bahwa Ali tidak tegas.
Berawal dari kasus tersebutlah asal nama Khawarij di berikan kepada mereka, dalam arti “Keluar” dari barisan Khalifah Ali. Nama Khawarij di berikan kepada mereka, karena mereka keluar dari barisan Ali. Pendapat lain mengatakan bahwa pemberian nama tersebut di dasarkan atas ayat 100 dari surat An-Nisa yang didalamnya di sebutkan:
     •    …………..
Artinya; “Keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasulnya”
Selain itu mereka juga menyebut diri meraka Syurah, yang berasal kata Yasyri (menjual), sebagaimana disebut dalam ayat 207 dari surat Al-Baqarah:
 ••          
Artinya: “Ada manusia yang menjual dirinya untuk memperoleh keridhaan Allah Ta’ala. Maksudnya adalah mereka orang yang sedia mengorbankan diri untuk Allah.
Nama lain juga di berikan kepada mereka yakni Haruriah, yakni dari kata Harurat, satu desa yang terletak di kota Kufah, Irak. Melihat hal itu, orang-orang Khawarij pun menunjukkan jati dirinya dengan keluar dari pasukan Ali bin abi Thalib. Mereka (Khawarij) merencanakan untuk membunuh Mu'awiyyah bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib, tapi dengan kelihaian Abd al-Rahman Ibnu Muljam berhasil bunuh Ali bin Abi Thalib saja.
Dalam mengajak umat mengikuti garis pemikiran mereka, kaum Khawarij sering menggunakan kekerasan dan pertumpahan darah, sebab kaum Khawarij pada umumnya adalah orang-orang arab Badawi. Yang hidup di padang pasir yang tandus dan gersang membuat cara hidup mereka dan pola pikir mereka sangat sederhana, menjadikan mereka sebagai pribadi yang keras hati dan pemberani, berjiwa bebas dan tidak bergantung pada orang lain.
2. Perkembangan Khawarij
Khawarij adalah aliran kalam yang perkembangannya sangat pesat dan tersebar keseluruh alam Islam pada saat itu. Mereka menjadi oposisi berat pemerintahan Umayyah, hingga menyebabkan runtuhnya Daulah Umawiyah bagian Timur. Seiring dengan perkembangannya Khawarij mencapai kejayaannya selama dua abad, di akhir masa kejayaannya, timbul komplik pemahaman terhadap dasar pokok yang ada di tubuh Khawarij, sehingga terpecah memjadi beberapa fairqoh.
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang firqah Khwarij. Al-Syahrastani, berpendapat mengatakan bahwa Khawarij terbagi menjadi delapan besar firqah, dan dari delapan firqah besar tersebut masih terbagi lagi dalam firqah-firqah kecil yang jumlahnya sangat banyak. Al-Bagdhadi mengemukakan ada dua puluh sub sekte. Sementara Al-Asy’ari menyebutkan jumlah sub-sekte yang lebih banyak lagi. Pepercahan inilah yang membuat Khawarij menjadi lemah dan mudah sekali dipatahkan dalam berbagai pertempuran menghadapi kekuatan militer Bani Umayyah. Adapun firqah yang terdapat dalam Khawarij di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Al-muhakkimah
Al-Muhakkimah adalah golongan dan generasi Khawarij pertama. Mereka adalah kelompok yang keluar dari barisan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib ketika terjadi peristiwa tahkim. Mereka memisahkan diri dan berkumpul di desa Harura di daerah kufah. Para tokohnya adalah Abdullah Ibn al-Kawa’, ‘Itab Ibn al-A’war, ‘Urwah Ibnu Jrir, dan Abdullah Ibn Wahab al-Rasibi. Abdullah Ibn Wahab al-Rasibi adalah imam pertama yang di bai’at memjadi pemimpin kaum Khawarij, yang mempunyai pengikut berjumlah 12.000 orang.
Dalam ajarannya firqah ini memandang Ali dan Mu’awiyah adalah tokoh yang paling bertanggung jawab terjadinya peristiwa tahkim, sehingga mereka berpendapat keduanya adalah kafir, termasuk orang yang menyetujui dan menerima tahkim tersebut. Demikian pula membunuh sesama muslim tanpa sebab adalah termasuk dosa besar. Karena itu menurut golongan ini perbuatan membunuh manusia itu membuat si pembunuhnya menjadi orang kafir, dan keluar dari Islam. Demikian pula dengan dosa-dosa besar lainnya.
2. Al-Azariqah
Aliran Al-Azariqah adalah aliran yang muncul setelah aliran al-Muhakkimah di hancurkan oleh Khalifah Ali, kemudian mereka muncul dengan kekuatan baru. Nama Al- Azariqah di nisbatkan kepada tokoh pemimpinnya yakni Abu Rasyid Nafi’ al-Azraq. Aliran ini berdiam diri dan membangun kekuasaannya di Irak dan Iran. Sebagai pemimpinnya atau Khalifah pertama adalah Abu Rasyid Nafi’ al-Azraq dan mendapat gelar Amir al-mu’minin. Sedangkan pengikutnya berjumlah 20.000 orang.
Aliran ini mempunyai pemikiran dan pemahaman yang radikal dan ekstrim. Sehingga dalam ajarannya, aliran ini tidak lagi menggunakan kata kafir tetapi menggunakan kata musyrik. Mereka menghalalkan darah anak –istri orang-orang yang tidak sepaham. Sebab menurut mereka anak-anak yang tidak sepaham tersebut akan masuk neraka bersama orang tuanya.
Bahkan yang lebih ekstrimnya mereka mengatakan orang yang di luar golongan mereka adalah orang yang wajib di perangi. Selain dari itu orang yang ingin menjadi anggota mereka, harus lulus seleksi yakni menyuruh orang tersebut membunuh budak yang mereka sediakan, bila orang tersebut enggan membunuhnya maka tidak di terima, namun sebaliknya maka akan mereka terima. Sementara, dalam pemahaman mereka tentang fiqih, aliran ini memandang bahwa hukum rajam tidak berlaku bagi orang yang menuduh laki-laki yang baik-baik berbuat zinah. Hukum rajam berlaku hanya bagi orang yang menuduh wanita baik-baik berzinah.
Menurut golongan ini, termasuk musyrik juga orang orang Islam yang sepaham dengan ajaran-ajaran al- Azariqah. Bahkan orang-orang Islam yang sepaham dengan al-Azariqah, tetapi mereka tidak berhijrah kedalam lingkungan mereka, mereka juga dipandang sebagai orang yang musyrik. Dengan kata lain, orang-orang dari golongan al-Azariqah sendiri, apabila tidak mau pindah ke daerah kekuasaan mereka, juga dianggap sebagai orang musyrik.
Prof. Dr. Harun Nasution menambahkan, bahwa golongan al-Azariqah ini mempunyai paham, hanya daerah mereka sajalah yang merupakan “Dar al Islam”, sedangkan daerah-daerah Islam lainnya merupakan “Dar al Herb”, atau “Dar al-Kufr”, karena itu wajib diperangi. Dan yang mereka pandang musyrik itu bukan hanya orang-orang yang telah dewasa, tetapi juga anak-anak mereka, mereka pandang musyrik.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, golongan al-Azariqah ini jelas mempunyai paham yang sangat ekstrim, sebab menurut paham mereka, hanya mereka sajalah yang sebenarnya Islam. Orang Islam yang berdomisili di luar lingkungan mereka adalah kaum musyrik yang harus diperangi. Oleh karena itu kaum al-Azariqah, sebagaimana disebutkan oleh ibn al-Hazm, selalu mengadakan “istri’radh”, yaitu bertanya tentang pendapat atau keyakinan seseorang yang mereka jumpai. Kalau orang tersebut mengaku sebagai orang Islam, tetapi tidak termasuk dalam golongan al-Azariqah, maka mereka pun membunuhnya.
Aliran ini bertahan sampai masa kekuasaan Abd al-Malik Ibn Marwan dari Dinasti Bani Umayyah. Abu Rasyid Nafi’ al-Azraq sang pendiri mati terbunuh di Irak pada tahun 61 H, oleh pasukan al-Hajjaj panglima perang Abd al-Malik Ibn Marwan.
3. Al-Nadjat
Nama golongan ini diambil dari nama seorang pemuka dari golongan ini, yaitu; Najdah ibn “Amr al-Hanafi”. Ia berasal dari daerah Yamamah. Menurut Al-Bagdadi, pada mulanya golongan ini ingin menggabungkan diri dengan orang al-Azariqah, tetapi karena dalam kalangan al Azariqah ini timbul perpecahan, maka mereka tidak jadi menggabungkan diri dengan al- Azariqah. Perpecahan dalam kalangan al-Azariqah itu disebabkan oleh sebagian dari pengikut-pengikut Nafi’ibnal-Azraq, diantaranya ialah Abu Fudaik, Rasyidal- Tawil dan ‘Atiah al-Hanafi, mereka tidak dapat menyetujui paham bahwa pengikut-pengikut al-Azariqah yang tidak mau berhijrah ke daerah lingkungan mereka, pandang sebagai golongan musyrik. Mereka juga tidak setuju dengan paham dalam golongan al-Azariqah, bahwa anak- anak dan istri-istri orang yang tak sepaham dengan golongan al-Azariqah itu boleh dibunuh.
Setelah memisahkan diri dari Nafi’ Abu Fudaik dan kawan-kawannya pergi ke Yamamah. Disinilah mereka dapat membujuk Najdah bergabung dengan mereka dalam menentang Nafi’, sehinggah Najdah dan pengikut- pengikutnya membatalkan rencana untuk hijrah ke daerah kekuasaan al-Azariqah. Selanjutnya Abu Fudaik dan pengikut-pengikutnya Najdah bersatu, dan memilih Najdah ibn ‘Amir al-Hanaf’ sebagai Imam mereka. Mereka tidak mau mengakui lagi Nafi ‘ibn al-Azraq sebagai Imam. Bahkan mereka telah menganggap Nafi’ telah menjadi kafir, dan orang-orang yang masih mengikutinya pun mereka pandang sebagai orang-orang yang kafir juga.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, dalam kalangan khawarij, golongan al-Nadjat inilah kelihatan yang pertama kali membawa pahamtaqiyah, yaitu paham bahwa seseorang boleh saja merahasiakan atau menyembunyikan keyakinannya atau keimanannya, demi untuk menjaga keamanan dirinya dari musuhnya. Taqiyah menurut pandangan mereka, bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi boleh juga dalam bentuk perbuatan. Jadi seseorang boleh mengucapkan kata-kata dan boleh melakukan perbuatan-perbuatan yang mungkin menunjukkan bahwa pada lahirnya ia bukan orang Islam, tetapi pada hakekatnya ia tetap penganut agama Islam.
Di kemudian hari terjadilah perpecahan diantara pengikut-pengikut al-Najdat. Perpecahan itu disebabkan oleh sebagian pengikut al-Najdat itu tidak dapat menerima bahwa orang yang melakukan dosa kecil itu bisa menjadi dosa besar. Tetapi menurut al-Bagdadi, perpecahan di kalangan mereka itu terutama disebabkan oleh pembagian ghanimah (harta rampasan perang), dan sikap lunak yang dilakukan oleh Najdah terhadap Khalifah ‘Abd al-Malik ibn Marwandari dinasti Bani Umayah.
Dalam masalah ghanimah, pernah mereka memperolah harta rampasan dalam peperangan, tetapi mereka tidak mengeluarkan seperlima lebih dulu, mereka langsung membaginya untuk orang-orang yang turut dalam peperangan. Hal ini diangapnya bertentangan dengan ketentuan dalam Al- Quran. Dan sikap lunak yang ditunjukkan oleh Najdah kepada Khalifah ‘Abd al-Malik ialah bahwa dalam serangan terhadap kota Madinah,mereka dapat menawan seorang anak perempuan. Khalifah ‘Abd al-Malik meminta kembali tawanan itu, ternyata permintaan itu dikabulkan oleh Najdah. Sikap seperti itu tentu saja tak dapat diterima oelh sebagian pengikut-pengikut mereka, karena Khalifah ‘Abd al-Malik adalah musuh mereka. Dalam perpecahan itu Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil, dan Atiah al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah. Atiah mengasingkan diri ke Sijistan di Iran, sedangkan Abu Fudaik dan Rasyid al-Tawil mengadakan perlawanan terhadap Najdah. Akhirnya Najdah dapat mereka tangkap dan mereka potong lehernya.
4. Al-Ajaridah
Golongan ini dinamakan Al-Ajaridah, karena mereka itu adalah pengikut dari ‘Abd Karim ibn ‘Ajrad, yang menurut al-Syahrastani, termasuk salah seorang teman dari ‘Atiah al-Hanafi. Menurut al-Bagdadi, paham al-Ajaridah ini lebih lunak dibandingkan dengan golongan-golongan lain dalam kalangan khawarij. Menurut paham mereka, berhijrah bukanlah merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam sebagaimana diajarkan dalam paham al-Azariqah dan paham al-Nadjat. Bagi mereka berhijrah itu hanyalah merupakan kebajikan saja. Dengan demikian kaum Ajaridah bebas tinggal dimana saja di luar daerah kekuasaan mereka, dan mereka tidak dianggap sebagai orang kafir. Mengenai harta yang boleh dijadikan sebagai harta rampasan perang, menurut mereka, hanyalah harta musuh yang telah mati terbunuh.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, kaum Ajaridah ini mempunyai paham puritanisme. Surat Yusuf dalam Al- Quran membawa cerita tentang cinta. Menurut mereka Al- Quran sebagai kitab suci, tidak mungkin mengandung cerita cinta. Oelh karena itu mereka tidak mengakui surat Yusuf sebagai bagian dalam Al-Quran.
5. Al-Sufriyah
Golongan ini dinamakan demikian, karena pemimpin golongan ini ialah Ziad ibn al-Asfar. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, golongan Al-Sufriyah ini mempunyai paham yang agak ekstrim dibandingankan dengan yang lain. Diantara pendapat-pendapat mereka itu ialah :
a. Orang sufriyah yang tidak berhijrah tidak di anggap menjadi kafir.
b. Mereka tidak sependapat, bahwa anak-anak orang yang musyrik itu boleh dibunuh.
c. Selanjutnya tidak semua orang sufriyah sependapat bahwa orang yang melakukan dosa besar itu telah menjadi musyrik. Ada diantara mereka yang membagi dosa besar menjadi dua golongan, yaitu daosa yang diancam dengan hukum dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tidak diancam dengan hukum dunia, tetapi diancam dengan hukuman karena di akhirat, seperti dosa karena meninggalkan shalat atau puasa bulan Ramadhan. Orang yang berbuat dosa besar golongan pertama, tidak dipandang kafir, tetapi orang yang berbuat dosa golongan kedua itulah yang di pandang kafir.
d. Daerah golongan Islam yang tidak sepaham dengan mereka, tidak dianggap sebagai dar al- harb, yaitu daerah yang harus diperangi. Menurut mereka, daerah yang boleh diperangi itu hanya daerahma’askar, yaitu markas- markas pasukan musuh. Anak-anak dan wanita-wanit tidak boleh dibunuh atau dijadikan tawanan.
e. Menurut mereka kufur itu ada dua macam yaitu : kufr bi inkar al-ni’mah, yaitu kufur karena mengingkari rahmat Tuhan, dan kufr bin inkar al-rububiyah, yaitu kufur karena mengingkari adanya Tuhan. Karena itu menurut mereka, tidak selamanya sebutan kafir itu mesti diartikan keluar dari Islam.
f. Menurut mereka,taqiyah hanya dibolehkan dalam bentuk perkataan saja, dan tidak boleh dalam bentuk perbuatan. Tetapi sungguhpun demikian, untuk menjaga keamanan dirinya, seorang wanita Islam boleh kawin dengan laki- laki kafir, apabila dia berada di daerah bukan Islam.
6. Al-Ibadiyah
Nama golongan ini diambil dari nama seorang pemuka mereka yaitu Abdullah ibn Ibad. Pada mulanya dia adalah pengikut golongan al-Azariqah, tetapi pada tahun 686 M, ia memisahkan diri dari golongan al-Azariqah. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, golongan al-Ibadiyah ini merupakan golongan yang paling moderat di bandingkan dengan golongan-golongan khawarij lainnya. Paham moderat mereka itu dapat dilihat dari ajaran-ajaran mereka sebagai berikut :
a. Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka, mereka itu bukan mukmin dan bukan pula musyrik, mereka itu adalah kafir. Dengan orang Islam yang demikian boleh diadakan hubungan perkawinan dan hubungan warisan. Syahadat mereka dapat diterima. Membunuh mereka haram hukumnya.
b. Daerah orang Islam yang tidak sepaham dengan golongan al-Ibadiyah, kecuali markas pemerintah, merupakan afar al-tawhid, yaitu daerah orang yang meng-Esakan Tuhan, karena itu daerah seperti itu tidak boleh diperangi. Sedangkan daerah ma’askar pemerintah, bagi mereka merupakan afar al-kufr, karena itu harus diperangi.
c. Orang Islam yang berbuat dosa besar, mereka sebut oran muwahhid, yaitu orang yang meng- Esakan Tuhan, tetapi ia bukan orang yang mukmin. Dengan demikian orang Islam yang mengerjakan dosa besar, perbuatannya itu tidak membuatnya keluarnya dari Islam.
d. Harta yang boleh dijadikan ghanimah (harta rampasan), hanyalah kuda dan senjata saja. Emas dan perak harus dikembalikan kepada yang empunya.
Tidak mengherankan kalau paham moderat seperti yang digambarkan diatas membuat Abdullah ibn Ibad tidak mau turut dengan golongan al-Azariqah dalam melawan Khalifah Bani Umayah. Bahkan sebaliknya ia mempunyai hubungan yang baik dengan Khalifah Abdul Malik ibn Marwan. Demikian pula Jabir ibn Zaid al-Azdi, pemimpin golongan al-Ibadiyah sesudah Ibn Ibad, mempunyai hubungan yang baik dengan al-Hajjah, yang pada waktu itu sedang giat-giatnya memerangi golongan khawarij yang ekstrim. Oleh karena itu, kalau golongan khawarij lainnya telah hilang dan hanya tinggal dalam sejarah saja, maka golongan al-Ibadiah ini masih ada sampai sekarang dan terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, Omman dan Arabia Selatan.
3. Ajaran Khawrij
Prof. Dr. Harun Nasution menyatakan bahwa menurut Abu Zahrah, timbulnya paham teologi dalam kalangan kaum khawarij bermula dari paham mereka dalam masalah-masalah politik/ketatanegaraan.
Dalam lapangan ketatanegaraan mereka memang mempunyai paham yang berlawanan dengan paham yang ada pada waktu itu. Mereka lebih bersifat demokratis, karena menurut mereka Khalifah atau Imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam, yang berhak menjadi Khalifah itu bukan hanya anggota suku bangsa Quraisy, bahkan juga bukan hanya orang Arab saja, tetapi siapa saja orang Islam yang sanggup dan mampu, walaupun ia seorang hamba yang berasal dari Afrika. Khalifah yang terpilih akan terus memegang jabatannya selama ia masih bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Tetapi kalau ia sudah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam, maka ia wajib dijatuhkan atau dibunuh. Selanjutnya di dalam kitabMaqalat disebutkan, bahwa dalam hubungannya dengan khalifah-khalifah yang empat, maka khalifah atau pemerintah Abu Bakar dan Umar ibn al- Khattab seluruhnya dapat mereka terima, karena kedua khalifah tersebut diangkat dan tidak nyeleweng dari ajaran ajaran Islam.
Akan tetapi pada pemerintahan Ali ibn Abi Thalib, menurut pandangan mereka Ali telah menyeleweng dari ajaran Islam sejak terjadinya peristiwa arbitrage (tahkim) sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Karena itu Usma dan Ali menurut pandangan mereka telah menjadi kafir. Demikian pula Mu’awiyah, Amr ibn al ‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang mereka anggap telah menyimpang atau menyeleweng dari ajaran Islam yang benar.
Dengan demikian dalam kalangan kaum khawarij mulai memasuki persoalan “kufr”: siapakah yang disebut “kafir”, dan mereka anggap tidak keluar dari Islam, dan siapa pula yang disebut “mukmin”, dan mereka anggap tidak keluar dari Islam. Persoalan-persoalan serupa ini bukan lagi merupakan persoalan politik, tetapi sudah berubah menjadi persoalan teologi.
Pendapat tentang siapa yang sebenarnya masih dipandang sebagai orang Islam, dan siapa yang telah keluar dari Islam dan dipandang sebagai orang kafir, serta soal-soal yang bersangkut-paut dengan ini, dikalangan kaum khawarij tidak selamanya sama, sehingga timbullah beberapa golongan kecil atau sub-subsekte dalam kalangan khawarij. Dalam kitab Al- Milal waal-Nihal Al-Baqdadi, mereka terpecah menjadi 20 subsekte, bahkan menurut Al-Asy’ari, mereka terpecah menjadi sub-sub sekte yang jumlahnya lebih besar lagi.
Prof. Dr. Harun Nasution menambahkan bahwa kaum Khawarij itu pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Mereka hidup di padang pasir yang tandus, yang membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran mereka, tetapi mereka sangat keras hati dan berani serta bersikap merdeka, tidak mau tergantung pada orang lain. Agama tidak membawa perubahan dalam sifat-sifat ke Badawian. Mereka telah bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi, mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis, mereka artikan menurut lafadznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan pemahaman mereka sangat sederhana, sempit dan fanatic. Iman mereka tebal, tetapi pandangan mereka sempit ditambah dengan sikap mereka yang fanatic, ini membuat mereka tidak dapat mentolerir hal-hal yang kelihatannya menyimpang dari ajaran Islam menurut paham mereka.
Inilah nampaknya yang menjadi faktor penyebab mengapa kaum khawarij terpecah-pecah menjadi golongan-golongan kecil, dan mengapa mereka terus-menerus bersikap mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka.
B. MURJIAH
1. Sejarah berdirinya Murji’ah
Sebagaimana halnya Kharij yang timbul akibat persoalan politik, Murjiah juga timbul sebab pesoalan politik yang tidak lari dari pemasalahan khilafah, yang membawa perpecahan di kalangan umat Islam setelah ‘Usman Ibn Affan mati terbunuh . Kaum Murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur terhadap pertentangan yang terjadi di kalangan umat Islam, dan mereka mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidaknya orang yang bertikai tersebut kepada tuhan. Sehinga seiring dengan perkembangannya, sikap netral tesebut berpindah kepada lapangan teologi. Persoalan dosa besar adalah kafir yang terdapat dikalangan kaum Khawarij, menjadi topik utama pembahasan kaum Murji’ah. Sehingga dalam satu sumber sejarah mengatakan Murji’ah timbul sebagai reaksi yang menentang pemahaman teologi kaum Khawarij. Sebab menurut mereka pelaku dosa besar tetap di katakan mukmin, tida kafir, dan mereka menyerahkan permaslahan tersebut kepada Allah.
Nama golongan Murji’ah diambil dari bahasa arab yang di ambil dari akar kata arja’a-irja’ yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan dan memberikan pengaharapan. Menangguhkan berarti bahwa mereka menunda soal siksaan seseorang di tangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan ia akan langsung masuk surga, sedangkan jika tidak, maka ia akan disiksa sesuai dengan dosanya, setelah ia akan dimasukkan ke dalam surga. Dan mengakhirkan dimaksudkan karena mereka memandang bahan perbuatan atau amal sebagai hal yang nomor dua bukan yang pertama. Selanjutnya kata menangguhkan, dimaksudkan karena mereka menangguhkan keputusan hukum bagi orang-orang yang melakukan dosa di hadapan Tuhan .
Disamping itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama Murji’ah yang diberikan pada golongan ini, bukan karena mereka menundakan penentuan hukum terhadap orang islam yang berdosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat kedua dari iman, tetapi karena mereka memberi pengaharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk surga
2. Perkembangan Murji’ah
Seiring dengan perkembangannya aliran Murji’ah terbagi kepada beberapa aliran, namun secara garis besarnya terbagi kepada dua bagian yakni Murjia’ah moderat dan Murji’ah ekstrim pembagian ini dilandaskan kepada pendapat mereka tentang iman dalam hubungnnya dengan amal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihan dalam penjelasan dibawah ini:
1) Golongan Moderat
Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali. Golongan Murji’ah yang moderat ini termasuk Al-Hasan Ibn Muhammad Ibn ’Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli Hadits. Menurut golongan ini, bahwa orang islam yang berdosa besar masih tetap mukmin. Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberikan definisi iman sebagai berikut: iman adalah pengetahuan dan pengakuan adanya Tuhan, Rasul-rasul-Nya dan tentang segala yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah dan berkurang, tidak ada perbedaan manusia dalam hal iman . Dengan gambaran serupa itu, maka iman semua orang islam di anggap sama, tidak ada perbedaan antara iman orang islam yang berdosa besar dan iman orang islam yang patuh menjalankan perintah-perinyah Allah. Jalan pikiran yang dikemukakan oleh Abu Hanifah itu dapat membawa kesimpulan bahwa perbuatan kurang penting dibandingkan dengan iman .
2). Golongan Murji’ah Ekstrim
Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap kelompok ini dapat dijelaskan sebagi berikut:
1. Kelompok Al-Jahmiyah
Adapun golongan Murji’ah ekstrim adalah Jahm bin Safwan dan pengikutnya disebut al-Jahmiah. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan, kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena kafir dan iman tempatnya bukan dalam bagian tubuh manusia tetapi dalam hati sanubari. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa orang yang telah menyatakan iman, meskipun menyembah berhala, melaksanakan ajaran-ajaran agama Yahudi degan menyembah berhala atau Kristen degan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinitas, kemudian mati, tidaklah menjadi kafir, melainkan tetap mukmin dalam pandangan Allah . Dan orang yang demikian bagi Allah merupakan mukmin yang sempurna imannya
2. Kelompok Ash-Shalihiyah
Bagi kelompok pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi iman adalah megetahui Tuhan danKufr adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian bahwa mereka sembahyang tidaklah ibadah kepada Allah, karena yang disebut ibadat adalah iman kepadanya, dalam arti mengetahui Tuhan . Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah melainkan sekedar mengamabrkan kepatuhan .
3. Kelompok Al-Yunusiyah dan Kelompok Al-Ubaidiyah
Melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan- perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (politheist) .
Kaum Yunusiyah yaitu pengikut- pengikut Yunus ibnu ’Aun an Numairi berpendapat bahwa ”iman” itu adalah mengenai Alla, dan menundukkan diri padanya dan mencintainya sepenuh hati. Apabila sifat-sifat tersebut sudah terkumpul pada diri seseorang, maka dia adalah mukmin. Adapun sifat-sifat lainnya, seperti ”taat” misalnya, bukanlah termasuk iman, dan orang yang meninggalkan bukanlah iman, dan orang yang meninggalkan ketaatan tidak akan disiksa karenanya, asalkan saja imannya itu benar-benar murni dan keyakinannya itu betul- betul benar
4. Kelompok Al-Hasaniyah
Kelompok ini mengatakan bahwa, ”saya tahu tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan ”saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain”, orang yang demikian juga tetap mukmin .
4. Ajaran Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin
irja’at au arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun persoalan teologis. Dibidang politik, doktrin irja’ diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompokMurji’ah di kenal pula denganThe Queitists (kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi jauh sehingga membuatMurji’ah selalu diam dalam persoalan politik .
Secara umum kelompok Murji’ah menyusun teori-teori keagamaan yang
independen, sebagai dasar gerakannya, yang intisarinya sebagai berikut :
a. Iman adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan Rasulnya saja. Adapun amal atau perbuatan, tidak merupakan sesuatu keharusan bagai adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap sebagai mukmin walaupun ia meninggalkan apa yang difardhukan kepadanya dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar.
b. Dasar keselamatan adalah iman semata-mata. Selama masih ada iman dihati, maka setiap maksiat tidak akan mendatangkanmudharat ataupun gangguan atas diri seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia hanya cukup dengan menjauhkan diri syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
Dengan kata lain, kelompok murji’ah memandang bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian menngkat pada pengertian bahwa, hanyalah imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya seseorang; perbuatan-perbuatan tidak memiliki pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati seseorang dan tidak diketahui manusia lain; selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak memiliki iman. Yang penting ialah iman yang ada dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan- perbuatan tidak merusak iman seseorang . Berkaitan dengan Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut :
a) Penangguhan keputusan Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat.
b) Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat Al- Khalifah Ar-Rasyidin.
c) Pemberian harapan (giving hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d) Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para skeptis
dan empiris dari kalangan Helenis.
Harun Nasution menyebutkan ada empat ajaran pokok dalam doktrin
teologi Murji’ah yaitu :
1. Menunda hukuman atas Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Amr bn Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ ary yang terlibattahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa
besar.
3. Menyerahkan meletakkan Iman dari pada amal.
4. Memberikan pengaharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sedangkan doktrin pemikiran Murji’ah yang lain, seperti batasan kufur, para pengikut Murji’ah terpecah menjadi beberapa golongan. Secara garis besar pemikiran dapat dijelaskan menurut kelompokJahamiyah: bahwa kufur merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan hati ataupun, dimana hati tidak mengenal (jahl) terhadap Allah SWT. Pada golongan yang lainnya, menyatakan bahwa kufur itu merupakan banyak hal yang berkenaan dengan hati ataupun selainnya, misalnya tidak mengenal (jahl) terhadap Allah SWT, membenci dan sombong kepadanya, mendustakan Allah dan rasul-Nya sepenuh hati dan secara lisan, begitu pula membangkang terhadap-Nya, mengingkari-Nya, melawan-Nya, menyepelekan Allah dan dan rasulnya, tidak mengakui Allah itu Esa dan menganggap-Nya lebih dari satu. Karena itu mereka pun menganggap bisa saja terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati maupun lisan, tetapi bukan dengan perbuatan, dan begitupun dengan iman.
Mereka beranggapan bahwa seseorang yang membunuh ataupun menyakiti Nabi dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena membunuh ataupun menyakiti semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur. Tetapi, kalau seseorang mengahalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya diapun disebut kufur


BAB III
KESIMPULAN
A. Khawarij
Perang Siffin meletus akibat dari politik yang dilakukan oleh Khalifah Usman bin Affan pada masa menjelang akhir pemerintahannya. Persoalan politik terus berlanjut dan bahkan makin berkembang setelah usainya perang Siffin, yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan- persoalan Theologi.
Golongan khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amru bin Ash, Abu Musa Al Asy’ari dan lain-lain sudah keluar dari Islam, bahkan dianggap murtad dan wajib di bunuh.
Sesuai dengan firman Tuhan dalam Surah An-Nisa : 100, Khawarij merupakan suatu kaum yang berhijrah meninggalkan rumah dan kampong halam mereka untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dan untuk memperolah pahala dari Allah SWT. Kaum Khawarij memisahkan diri dari barisan ‘Ali bin Abi Thalib, karena mereka tidak setuju dengan sikapnya yang menerima tahkim (arbitrase) dalam menyelesaikan persengketaannya dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi dalam pertemuan dengan kekuatan Ali, kaum khawarij mengalami kekalahan besar, tapi akhirnya Ibn al- Muljam dapat membunuh Ali bin Abi Thalib.
Di kemudian hari kaum Khawarij terpecah-pecah dalam beberap sub-sekte, di antaranya ialah ; 1) Al-Muhakkimah, 2) Al-Azariqah, 3) Al-Najdat, 4) Al-Ajaridah, 5) Al-Sufriyah, 6) Al- Ibadiyah.
B. Murji’ah
Kemunculan aliran Murji’ah dalam sejarah perkembangan ilmu teologi dalam islam, tidak terlepas dari pengaruh perkembangan politik pada masa itu, yang dimulai dari pertentangan Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Aliran Murji’ah merupakan aliran yang berusaha bersikap netral atau nonblok dalam proses pertentangan yang terjadi antara kaum Khawarij dengan kaum Syi’ah yang telah masuk pada permasalahan kafir mengkafirkan.
Dan dalam perkembangannya Murji’ah ikut memberikan tanggapan dalam permasalahan ketentuan Tuhan dalam menetapkan seseorang telah keluar Islam atau masih mukmin. Tipe pemikiran yang dikembangkan oleh kaum Murji’ah adalah bahwa penentuan seseorang telah keluar dari Islam tidak bisa ditentukan oleh manusia tapi di tangguhkan sampai nanti di akhirat. Pembagian golongan Murji’ah dapat dibagi ke dalam dua golongan besar yaitu, golongan Murji’ah moderat dan golongan Murji’ah ekstrem

DAFTAR KEPUSTAKAAN
AL-Qur’an dan Terjemahannya, CV Karya Utama Surabaya, 2005
Al-Asy’ari, Abul Hasan Isma’il. 1998. Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi
Islam, CV Pustaka Setia, Bandung,1998

Al-Maududi, Abul A’la. Khilafah dan Kerajaan. Penerjemah: Muhammad Al- baqir. Penerbit Kharisma, Bandung, 2007

A. Jamrah, Suryan , Studi Ilmu Kalam, PT. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2008
Abdul Mu’in, M. Taib Thahir, Ilmu Kalam, Widjaya, Jakarta, cetakan ke, 9, 1992
A. Nasir, Salihun, Pengantar Ilmu Kalam, PT. Raja Grapindo Persada, Jakarta, cetakan ke III, 1996
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cetakan ke 5, UI-Press, Jakarta, 1986,

Nata, Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat dan Tassawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995

Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihan.Ilmu Kalam, CV Pustaka Setia Bandung, 2007

Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid II, PT Pustaka Al- Husa baru, Jakarta, 2003

pungsi hadis terhadap al-qur'an

BAB I
PENDAHULUAN

Islam sebagai agama mempunyai makna bahwa Islam memenuhi tuntutan kebutuhan manusia di mana saja berada sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi maupun bagi kehidupan sesudah mati. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan bagaimana caranya berhubungan dengan Tuhan atau Khaliqnya, serta aturan bagaimana caranya berhubungan dengan sesama makhluq, termasuk di dalamnya persoalan hubungan dengan alam sekitar atau lingkungan hidup. Dalam perkembangan selanjutnya, dalam mengemban tugas ini, manusia memerlukan suatu tuntunan dan pegangan agar dalam mengolah alam ini mempunyai arah yang jelas dan tidak bertentang dengan kehendak Allah SWT. Islam sebagai ajaran agama yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada umat manusia melalui Rasul-Nya adalah satu pegangan dan tuntunan bagi manusia itu sendiri dalam mengarungi kehidupan ini.
Allah SWT mengutus para Nabi dan Rosul-Nya kepada ummat manusia untuk memberi petunjuk kepada jalan yang lurus dan benara agar mereka bahagia dunia dan akhirat. Rosululloh lahir ke dunia ini dengan membawa risalah Islam, petunjuk yang benar. Hukum Syara’ adalah khitab Syari’ (seruan Alloh sebagai pembuat hukum) baik yang sumbernya pasti (qath’i tsubut) seperti Al-Qur’an dan Hadits, maupun ketetapan yang sumbernya masih dugaan kuat (zanni tsubut) seperti hadits yang bukan tergolong mutawatir.
BAB II
PEMBAHASAN

B. Pengertian Hadits
Pengertian Hadits dapat diartikan menurut dua cara yakni menurut bahasa dan menurut terminoligi. Hadits menurut bahasa terdiri dari beberapa arti, yaitu :
1. Jadid yang berarti baru
2. Qarib yang artinya dekat, dan
3. Khabar yang artinya berita
Sedangkan pengertian hadits secara terminologis adalah :
ما اضيف الي الني صلعم قولا اوفعلا اتقريرااوصفة اوحمية
“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya” . Seperti disebutkan di atas, bahwa definisi ini memuat empat elemen, yaitu perkataan, perbuatan, pernyataan, dan sifat-sifat lain. Secara lebih jelas dari ke empat elemen tersebut dapat penulis uraikan sebagai berikut :
1. Perkataan
Yang dimaksud dengan perkataan adalah segala perkataan yang pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam berbagai bidang, seperti bidang syariah, akhlaq, aqidah, pendidikan dan sebagainya.
2. Perbuatan
Perbuatan adalah penjelasan-penjelasan praktis Nabi Muhammad SAW terhadap peraturan-peraturan syara’ yang belum jelas teknis pelaksanaannya. Seperti halnya jumlah rakaat, cara mengerjakan haji, cara berzakar dan lain-lain. Perbuatan nabi yang merupakan penjelas tersbut haruslah diikuti dan dipertegas dengan sebuah sabdanya.
3. Taqrir
Taqrir adalah keadaan beliau yang mendiamkan atau tidak mengadakan sanggahan dan reaksi terhadap tindakan atau perilaku para sahabatnya serta menyetujui apa yang dilakukan oleh para sahabatnya itu.
4. Sifat, Keadaan dan Himmah Rasululloh
Sifat-sifat, dan keadaan himmah Nabi Muhammad SAW adalah merupakan komponen Hadits yang meliputi :
a. Sifat-sifat Nabi yang digambarkan dan dituliskan oleh para sahabatnya dan dan para ahli sejarah baik mengenai sifat jasmani ataupun moralnya
b. Silsilah (nasab), nama-nama dan tahun kelahirannya yang ditetapkan oleh para sejarawan
c. Himmah (keinginan) Nabi untuk melaksanakan suatu hal, seperti keinginan beliau untuk berpuasa setiap tanggal 9 Muharram.
C. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan Allah. Kitab Al-Qur’an adalah sebagai penyempurna dari kita-kitab Alloh yang pernah diturunkan sebelumnya. Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan rujukan umat Islam dalam memahami syariat. Pada tahun 1958 salah seorang sarjana barat yang telah mengadakan penelitian dan penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Qur’an mengatakan bahwa : “Pokok-pokok ajaran Al-Qur’an begitu dinamis serta langgeng abadi, sehingga tidak ada di dunia ini suatu kitab suci yang lebih dari 12 abad lamanya, tetapi murni dalam teksnya”.
Sehingga mayoritas kaum muslimin sepakat menjadi hadits sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Keyakinan bahwa hadits sebagai sumber ajaran Islam ajaran Islam di tunjukkan oleh al-Qur’an dengan perintah untuk mentaati Allah dan Rasulnya.
Dr. Musthafa As-Siba’iy menjelaskan, bahwa fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an ada tiga macam yakni:
1. Memperkuat hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, baik yang global maupun yang detail.
2. Menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an yakni mentaqyidkan yang mutlaq, mentafshilkan yang mujmal dan mentakhshiskan yang ‘am.
3. Menetapkan hukum yang tidak di sebutkan oleh Al-Qur’an.
Sedangkan ulama ahlul Ra’yi berpendapat, bahwa punsi Hadits terhada Al-Qur’an ialah:
1. Bayan Ta’kid, yaitu penjelasan Rasullah Menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Seperti hadist yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar yang berbunyi:
فإذارأيتمالهلال فصوموا وإذارأيتموه فأفطروا(رواه مسلم)
Artinya:“berpuasalah kamu dengan melihat bulan, dan berbukalah kamu karena melihat bulan.(HR. Muslim)
Hadist di atas menta’kid/menta’rir ayat Al-Qur’an yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 185, yang memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk berpuasa bila melihat awal bulan Ramadhan yang berbunyi:
          
Artinya :
……barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu…..
Contoh lain , hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi sebagai berikut:
قال رسول الله صلي الله عليه وسلم لا تقبل صلاة من أحدث حتي يتوضأ (رواه البخارى)
Hadist ini menta’kid/mentaqrir surat Al-Maidah ayat 6, mengenai keharusan berwudhu ketika seseorang akan mendirikan shalat , ayat yang dimaksud berbunyi:
                  
2. Bayan Tafsir, yaitu Menguraikan dan merincikan yang global (mujmal), mengkaitkan yang mutlak dan mentakhsiskan yang umum(‘am), Tafsil, Takyid, dan Takhsis berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Rasulullah bersabda :
صلواكمارأيتموني أصلي(رواه البخارى)
Artinya:“sholatlah kamu sebagaimana engkau melihat aku sholat. Sebab dalam al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satunya adalah surat al-Baqarah ayat 43 yang berbunyi:
   •    
Artinya “Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.
Dalam surat al-Baqarah ayat 110 yang berbunyi:
   •           •     
Artinya :
Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.

3. Bayan Taqyid Menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Hukum yang terjadi adalah merupakan produk Hadits/Sunnah yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an. Contohnya:
أتي رسول الله صلي الله عليه وسلم بسارق فقطع يده من مفصل الكف

Hadist di atas mentaqyid surat Al-Maidah ayat 38 :
              
Artinya :
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat di atas menjelaskan secara umum tentang hukum potong tangan bagi pencuri. Ayat di atas sama sekali tidak menjelaskan tentang batas minimal dari benda curian yang dapat dikenakan potong tangan terhadap pelakunya. Maka disini hadis menjelaskannya dengan rinci maksuk ayat tersebut.
4. Bayan Takhsis, keterangan Rasulullah SAW, yang sifatnya membatasi petunjuk umum dari suatu ayat al-Qur’an, sebagai contoh:
نحن معا شر الأ نبيا ء لانورث ماتركناه
Artinya :“Kami para nabi tidak meninggalkan harta warisan”
قال النبي صلي الله عليه وسلم لا يرث المسلم الكافرا ولا الكافرالمسلم (رواه البخارى)
Nabi Muhammad bersabda: “Tidaklah seorang Muslim mewarisi dari orangkafir, begitu juga kafir tidak mewarisi dari orang muslim.”
Kedua hadist tersebut mentakhsiskan keumuman dari surat Al-Nisa ayat, 11 yang berbunyi:
           
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.
Imam Malik berpendapat bahwa pungsi Hadits terhadap Al-Qur’an adalah:
1. Bayan Taqrir
2. Bayan Taudhlih (Bayan Tafsir), yakni, menjelas makna Al-Qur’an
3. Bayan Tafshil, yakni memerinci kandungan ayat yang mujmal.
4. Bayan Tabsith (Bayan Ta’wil), yakni memanjakan keterangan bagi apa yang di ringkaskan keterangannya oleh Al-Qur’an.
5. Bayan Tasyri’, yakni mengadakan suatu hukum yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’an
Sedangkan Syafi’I berpendapat bahwa pungsi Hadits terhadap Al-Qur’an adalah:
1. Bayan Tafshil
2. Bayan Takhshis, yaitu menjelaskan kehususan suatu ayat yang umum
3. Bayan takyin, yakni menentukan mana yang dimaksud di antara dua atau tiga perkara yang di maksudkan, misalnya pengertian “quru’ ”
4. Bayan Tasyri’
5. Bayan Nasakh
6. Bayan Isyarah, yakni Qiyas
D. Kewajiban Umat Islam Terhadap Hadits
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullih SAW. Menjadi suritauladan bagi umat manusia. Dalam sebuah hHadits disebutkan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan Akhlaq dan budi pekerti manusia. Kebiasaan-kebiasaan kaum muslimin pada masa sahabat adalah mengambil hukum-hukuim syariat Islam dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Begitu pula dengan Amirul Mu’minin sampai para wali maupun pejabat-pejabat pemerintah lainnya.
Kaum muslim sepakat bahwa Hadits merupakan hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hal ini berdasarkan kepada kesimpulan yang diperoleh dari dalil-dalil yang memberi petunjuk tentang kedudukan dan fungsi Hadits. Maka dengan demikian kewajiban umat Islam Hadits harus dijadikan hukum (hujjah) dalam melaksanakan perintah Al-Qur’an yang masih bersifat Ijma dan Hadits sebagai penjelas untuk melaksanakannya. Melaksanakan apa yang dicontohkan oleh Rasululloh SAW berarti mentaati perintah-perintah Alloh.
Alloh SWT berfirman :
•             
Artinya: “Barang siapa yang mentaati Rosul, maka sesugguhnya dan telah mentaati Alloh”. (QS. An-Nisa : 80)
Dalam ayat lain Allah berfirman :
•                                 •   •    
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka termalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. Al-Hasyr : 7)
Dari penjelasan kedua ayat di atas jelaslah bahwa umat Islam harus menjadikan Hadits dan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
BAB III
KESIMPULAN

Dari berbagai uraian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Hadits merupakan berbagai hal yang telah diucapkan dan dicontohkan oleh Rasulullah yang harus dajadikan pedoman dan contoh bagi umat Islam
2. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sebagai penguat dan memperjelas apa-apa yang ada di dalam Al-Qur’an yang masih bersifat global (mu’mal).
3. Hadits dan Al-Qur’an adalah merupakan sumber hukum dalam kehidupan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.






DAFTAR KEPUSTAKAAN
Affandi Bisri Affandi, “Dirasat Islamiyyah (Ilmu Tafsir & Hadits)”.CV Aneka Bahagia Offset,1993
An-Nabhani Taqiyyudin, Peraturan Hidup dalam Islam” Bogor, Pustaka Thariqul ‘Izzah, 2003
Al-Bukhari, Imam, Shahih Al-Bukhari, Tahqiq, Syeikh ‘Abd Al-‘Aziz Ibn Abdillah Ibn ‘Abd Al-Baz, Hadis Nomor 135 Bab La tuqbalu al-Shalat bihairi thur,juz I , Beirut, Dar al-Fikr, 1994.
Al-‘Asqalani, Ibnu Hajar , Fath Al-Bari, juz, VI, Beirut Dar al-Fikr wa MaktabahAl-Salafiyah,t.t
Darussamin, Zikri, Ilmu Hadits, PT.LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2010
Ilmu Tafsir dan Hadits IAIN Sunan Ampel, CV, Aneka Bahagia Surabaya 1993. Hal : 41
Ismail, M. Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadits, Angkasa Bandung, 1985
Muslim, Imam, Sahih Muslim, Hadist nomor 1.798 terdapat dalam kitab Al-Shiyam, jilid I, Beirut, Dar al-Fikr, t.t
Syauki, Ahmad Lintasan Sejarah Al-Qur’an”, Bandung CV Sulita Bandung.1984
Suparta, Munzir, Ilmu Hadits, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008

Darussamin, Zikri, Ilmu Hadits, PT.LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2010
Isma’il Al-Kahlani, Muhammad bin, Subul Al-Salam, Juz IV, Bandung Dahlan, t.t

keadilan sahabat

BAB I

PENDAHULUAN

Seluruh umat Islam memahami bahwa hadits adalah pedoman hidup yang kedua setelah al-Qur’an. Sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Dimana Rasulullah masih hidup Hadits belum mendapat perhatian sepenuhnya seperti al-Qur’an. Para sahabat terutama yang mempunyai tugas istimewa selalu mencurahkan tugas dan tenaganya untuk mengabdikan pada ayat-ayat al-Qur’an di atas alat-alat yang digunakannya. Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits, kendatipun para sahabat sangat memerlukan petunjuk-petunjuk dan bimbingan Nabi Muhammad Saw dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan- ketentuan dalam al-Qur’an, namun mereka belum membayangkan bahasa yang dapat mengancam generasi yang akan dating selama Hadits belum diabadikan dalam tulisan.
Dalam hadits dijelaskan urgensi sahabat berkaitan dengan rangkaian periwayatan yang diderivikasikan dari Rasulullah Saw diriwayatkan bahwa sahabat adalah transmiter awal yang menyalurkan informasi nilai-nilai relegius kepada generasi yang berikutnya. Tanpa sahabat, informasi penting tentang agama tidak akan sampai kepada generasi pasca sahabat. Terhadap peran sahabat dalam transmisi nilai relegius yang vital ada dua pandangan yang berbeda; pertama ulama’ sunni secara mayoritas sepakat bahwa sahabat adalah tonggak Islam pertama yang tidak perlu diragukan lagi informasi-informasi yang disampaikan kepada generasi selanjutnya, kesepakatan itu berarti tidak perlu menguasai kredibilitas dan integritas (ةلداع) nya. Urgensi dan peran para sahabat sebagai tonggak awal pembawa panji-panji Islam tersebut juga diakui oleh ulama’ shi’i, hanya saja menurut mereka hal itu tidak serta merta bermakna bahwa sahabat secara keseluruhan dapat diterima sebagai transmitte nilai-nilai agama tanpa diuji kredibilitas dan integritasnya masing-masing individunya.
















BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sahabat
Sahabat secara etimologis merupakan kata bentukan dari kata al-suhbeih (persahabatan), bentuk isim masdar “Shahiba-yashabu”, yang artinya mengikuti, menyertai atau orang yang menyertai orang lain, sedikit atau banyak, yang digunakan untuk mengikuti pernyataanya dalam suatu kegiatan, baik dalam frekuensi minimal maupun maksimal, sepanjang masa, satu tahun, satu bulan, satu hari, dan satu jam.
Adapun pengertian sahabat menurut istilah para ulama’ berbeda pendapat :
1. Menurut Usman ibn Shalih, sahabat adalah orang yang menemui masa Nabi
walaupun dia tidak dapat melihat dan memeluk Islam semasa Nabi hidup.
2. Menurut ulama’ hadits, sahabat adalah setiap muslim yang pernah melihat
Rasulullah Saw.
3. Menurut Ibn Hazm, sahabat adalah setiap orang yang pernah bermujalasah dengan Nabi walaupun hanya sesaat, mendengar dari beliau walaupun hanya satu kata, menyaksikan beliau dalam menangani satu masalah dan tidak termasuk orang-orang yang munafik yang kemunafikannya berlanjut sampai populer dan meninggal seperti itu.
4. Menurut Ibn Hajar, definisi sahabat yang paling shahih adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Saw, dalam keadaan beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan iman juga. Masuk dalam kategori orang yang pernah ketemu Nabi Saw, orang yang lama bermujalasah atau sebentar saja bersama beliau, orang yang turut berperang atau tidak, orang yang tidak pernah melihat beliau dengan alsan tertentu seperti buta. Dan pendapat ini merupakan pendapat yang mayoritas.
B. Keutamaan Sahabat dan Faktor-faktro yang membedakan dalam periwayatan
Hadits
1. Ketutamaan Sahabat.
Para ulama berbeda pendapat, siapa diantara sahabat yang lebih dahulu memeluk agama Islam. Ada yang mengatakan Abu Bakar, ada yang mengatakan Khadijah, Zaid Ibn Haritsah, Ali bin Abi Thalib dan ada yang mengatakan Ibn Ats. Menurut penelitian Muhaqqiqin, bahwa orang yang mula-mula masuk Islam adalah Khadijah ra. Dan Assalaby menganggap bahwa, pendapat para muhaqqiqi tersebut sudah menjadi ijma’. Hanya saja yang menjadi perselisihan ialah orang-orang sesudah khadijah ra. Untuk menjaga keperwiraan dan menghindari kesimpangsiuran pendapat tentang orang-orang yang mula-mula masuk Islam, Imam Nawawi mengklasifikasikannya sebagai berikut :
a. Dari golongan orang laki-laki dewasa lagi merdeka, ialah Abu Bakar.
b. Dari golongan pemuda, ialah Ali bin Abi Thalib.
c. Dari golongan wanita, ialah Khadijah
d. Dari golongan mawali (budak),ialah Zaid bin Haritsah, budak pemberian Khadijah yang dibebaskan oleh Nabi, kemudian diambil anak angkat.
e. Dari golongan hamba sahaya adalah Bilal.
Menurut para sahabat, tabi’in dan fuqaha’ telah sepakat dalam menetapkan bahwa sahabat yang paling utama secara mutlak adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Setelah mereka berempat, ialah sahabat sepuluh yang telah diakui masuk surga diantaranya : Sa’ad ibn Abi Waqats, Said bin Zaid, Thalahah ibn Ubaidillah, Az-Zubair ibn Al-Awam, Abd Rahman ibn Auf, Abu Ubai dan Ibn Al-Jasrah. Kemudian sahabat-sahabat yang menyaksikan perang Badar, perang Uhud, kemudian sahabat yang hadir dalam mengadakan Bait ar- Ridwan di Hudaibiyah, dan yang terakhir adalah Assabiqunal Awwalun.
2. Faktor-faktor yang membedakan dalam periwayatan hadits.
Para sahabat tidak berada pada satu tingkatan dalam hal ilmu mereka, mengenai sunnah, hal-ihwal, dan sabda Rasulullah Saw, namun keadaan mereka bertingkat tingkat, karena ada diantara mereka yang menghabiskan umurnya untuk selalu bersama Rasulullah Saw dan melayani sebagian besar kegiatan beliau seperti Anas bin Malik. Ada juga yang sering mengembara di pedalaman- pedalaman atau berdagang ke berbagai daerah, ada yang berasal dari perkotaan dan ada pula yang berasal dari pedalaman (pedesaan), ada yang menetap ada juga nomadic. Sehingga berbeda-beda tingkat pengetahuan tentang apa yang datang dari Rasulullah Saw.
Para sahabat dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah Saw yang dibawa kepada kita syariat yang hanif dan disampaikannya kepada generasi sesudah mereka, baik berupa perbuatan, namun segala aktifitas Rasulullah Saw yang besar maupun yang kecil, saat di rumah ataupun di saat bepergian, saat berpindah- pindah maupun saat menetap. Mereka meriwayatkannya itu berbeda-beda. Ada yang meriwayatkan lebih dari 200 hadits, ada sahabat yang meriwayatkan lebih dari 100 hadits dan bahkan ada sahabat hanya meriwayatkan satu hadits Rasulullah Saw. Dari pemaparan tersebut jelaslah perbedaan sahabat dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah Saw.

C. Pengertian Al-‘Adalah dan Keadilan Sahabat
1. Pengertian Al-‘Adalah
Al-‘Adalah menurut bahasa adalah masdar dan kata kerja (عدل) dan sinonimnya adalah al-Istiqomah, yang berarti lurus, menurut pengertian sahabat bersikap lurus di jalan kebenaran dengan menghindarkan hal-hal yang dilarang oleh agama. Menurut ibnu Sam’ani, keadilan seorang rawi harus memenuhi empat syarat, yaitu :
a. Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi maksiat
b. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun
c. Tidak melakukan perkataan-perkataan mubah yang dapat menggugurkan iman kepada qadar dan mengakibatkan penyesalan.
d. Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan syara’.
Dengan demikian, jika pada diri seorang rawi tidak ada jiwa yang adil dalam meriwayatkan hadits, maka akan berpengaruh negative terhadap kesahihan hadits itu sendiri.
2. dasar-dasar Keadilan Sahabat menurut Al-Qur’an dan Hadist
Menurut Jumhur Ulama’, bahwa seluruh sahabat itu adalah adil . Adapun yang dimaksud adil disini adalah adanya konsekuensi para sahabat secara kontinyu dalam menegakkan nilai-nilai agama, senantiasa ber amar ma’ruf serta tidak berbohong kepada Rasulullah Saw. , dengan demikian keadilan sahabat akan berarti, karena para sahabat dijamin terjaga dari perbuatan dosa, lupa atau kelupaan. Imam Al-Khatib al-Bagdadi, dalam kitab kifayahnya mengatakan bahwa tidak perlu dipersoalkan lagi mengenai keadilan para sahabat, karena keadilan sahabat sudah ditetapkan keadilannya oleh Allah Swt., dalam ayat- ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits, ayat-ayat tersebut antara lain :
  •  ••                     
Artinya
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (AliImran : 110)

Dalam surat Al-Baqarah ayat 144 yang berbunyi:
           •                   
Artinya :
Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

Dalam surat at Taubah ayat 100 juga di jelaskan:
 •     •         •           
Artinya:
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.

Dalam surat Al Afal ayat 74 juga di jelaskan
         •       •   
Artinya
Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka Itulah orang-orang yang benar-benar beriman. mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.


Dan perintah ini langsung tertuju kepada sahabat Rasulullah dan orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu.
Dalam hadis juga rasul menyebutkan
1. Dari Abu Sa’id, ia berkata, “Saat terjadi pertengkaran antara Khalid bin Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf, Khalid mencaci Abdurrahman. Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian mencela seorang sahabatku, karena seandainya salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, maka pahalanya tidak bisa menyamai infak mereka sebanyak satu gantang, dan tidak pula separonya.”
2. Rasulullah SAW bersabda kepada ‘Umar RA, “Apa yang membuatmu tahu, barangkali Allah akan menemui para Ahli Badar dan berfirman, ‘Lakukan apa yang kalian suka, karena Aku telah mengampuni dosa kalian
3. Dari ‘Imran bin Hushain RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik umatku adalah yang sezaman denganku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka.” ‘Imran berkata, “Aku tidak tahu, apakah beliau menyebut dua atau tiga zaman sesudah zaman beliau.”
4. Dari Abu Musa Al-Asy’ari, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bintang-bintang adalah pengaman bagi langit. Kalau bintang-bintang itu hilang, maka penghuni langit akan menerima apa yang diperingatkan kepada mereka. Aku adalah pengaman bagi sahabat-sahabatku. Kalau aku telah pergi, maka datanglah kepada para sahabatku apa yang diperingatkan kepada mereka. Dan para sahabatku adalah pengaman bagi umatku. Kalau para sahabatku itu telah pergi, maka datanglah kepada umatku apa yang diperingatkan kepada mereka.”
5. Dari ‘Umar bin Khaththab RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Muliakanlah sahabat-sahabatku, karena mereka adalah orang-orang yang terbaik di antara kalian.” Dalam riwayat lain dari ‘Umar beliau bersabda, “Jagalah aku dengan berlaku baik kepada sahabat-sahabatku.”
6. Dari Anas RA, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Tanda iman adalah cinta kepada para sahabat Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci para sahabat Anshar.” Nabi SAW juga bersabda tentang sahabat-sahabat Anshar, “Tidak ada yang mencintai mereka selain orang mukmin, dan tidak ada yang membenci mereka selain orang munafik.”
7. Dari Watsilah RA, bahwa Nabi SAW bersabda, “Kalian tetap berada dalam kondisi baik selama di antara kalian ada orang yang pernah melihatku dan bersahabat denganku. Demi Allah, kalian tetap berada dalam kondisi baik selama di antara kalian ada orang yang pernah melihat orang yang pernah melihatku dan bersahabat denganku.”
8. Dari Abu Sa’id Al Khudri RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Akan datang satu masa kepada manusia dimana satu kelompok manusia berperang dan bertanya, ‘Apakah ada seorang sahabat di antara kalian.’ Lalu yang lain menjawab, ‘Ada.’ Kemudian mereka pun diberi kemenangan. Kemudian datang satu masa kepada manusia dimana satu kelompok manusia berperang dan bertanya, ‘Apakah ada seorang sahabat di antara kalian.’ Lalu yang lain menjawab, ‘Ada.’ Kemudian mereka pun diberi kemenangan. Kemudian datang satu masa kepada manusia dimana satu kelompok manusia berperang dan bertanya, ‘Apakah ada seorang sahabat di antara kalian.’ Lalu yang lain menjawab, ‘Ada.’ Kemudian mereka pun diberi kemenangan.”
9. Dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Para sahabat Anshar adalah orang dekat dan sahabat istimewaku. Manusia akan menjadi banyak dan sedikit. Maka, terimalah kebaikan-kebaikan mereka dan maafkanlah kejelekan-kejelekan mereka.”
10. Dari Ibnu ‘Abbas RA, bahwa Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa mencela sahabat-sahabatku, maka baginya laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya.” Hadits-hadits tentang masalah ini banyak
Adanya perbedaan pendapat mengenai keadilan sahabat, Imam Al- Nawawi menyatakan pendapat jumhur itu telah menjadi ijma’, oleh karena itu tidak diperbolehkan seseorang mengkritik mereke, khawatir akan menyimpang dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang telah menegaskan keadilan mereka. Sebab mereka memiliki peran yang sangat besar dalam menegakkan dan membela agama, membela Rasulullah Saw, menyerahkan jiwa dan hartanya, bersikap sesuai dengan tatanan-tatanan-Nya dan sangat ketat dalam melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Zurah Al-Rasyi mengenai keadilan sahabat adalah jika kamu melihat seseorang yang mencari kesalahan seorang sahabat, maka ketahuilah bahwa orang itu sindiq. Hal ini karena Rasulullah saw benar, Al- Qur’an benar dan apa yang dibawa oleh beliau benar, semua itu dibawa kepada kita oleh sahabat.

D. Tinkatan Adalat dan Tajri sahabat serta pendapat para ulama
Kitab-Kitab Terkenal Mengenai Shahabat
a. Kitab Ma’rifat Man Nazala minash-Shahabah Sa’iral -Buldan, karya Imam Ali bin Abdillah Al-Madini (wafat tahun 234 H). Kitab ini tidak sampai kepada kita.
b. Kitab Tarikh Ash-Shahabah, karya Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 245 H). Kitab ini juga tidak sampai kepada kita.
c. Al-Isti’ab fii Ma’rifaatil-Ashhaab, karya Abu ‘Umar bin Yusuf bin Abdillah yang masyhur dengan nama Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Qurthubi (wafat tahun 463 H). dan telah dicetak berulang kali, di dalamnya terdapat 4.225 biografi shahabat pria maupun wanita. 18
d. Ushuudul-Ghabah fii Ma’rifati Ash-Shahabah, karya µIzzuddin Bul-Hasan Ali bin Muhammad bin Al-Atsir Al-Jazari (wafat tahun 630 H), dicetak, di dalamnya terdapat.7554 biografi.
e. Tajrid Asmaa’ Ash-Shahabah, karya Al-Hafidh Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H), telah dicetak di India.
f. Al-Ishaabah fii Tamyiizi Ash-Shahaabah, karya Syaikhul-Islam Al-Imam Al-Hafidh Syihabuddin Ahmad bin Ali Al-Kinani, yang masyhur dengan nama Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (wafat tahun 852 H). Dan dia adalah orang yang paling banyak melalukan pengumpulan dan penulisan. Jumlah kumpulan biografi yang terdapat dalamAl - Is haabah adalah 122.798, termasuk dengan pengulangan, karena ada perbedaan pada nama shahabat atau ketenarannya dengank uny ah-nya, gelar, atau semacamnya; dan termasuk pula mereka yang disebut shahabat, namun ternyata bukan.
Penyusunan Kitab BerdasarkanThabaqat (Generasi)
Di antara penyusun kitab Tarikh Ar-Ruwat, ada yang menyusunnya berdasarkan tingkat generasi, yang meliputi shahabat, tabi’In, tabi’ut tabi’in, dan orang yang mengikuti mereka pada tiap generasi.T habaqat adalah sekelompok perawi yang hidup dalam satu masa. Buku tersebut terkadang mencakupi perawi hadits secara umum dalam setiapt habaqat tanpa terikat pada tempat tertentu, dan terkadang pula hanya para perawi yang hidup dalam satu negeri. Karya terkenal dalam metodet habaqat ini adalah :
a. Kitab Ath-Thabaqat, karya Muhammad bin µUmar Al-Waqidi (wafat tahun 207 H). Ibnu Nadim telahmenyebutkannya dalam kitabAl -f ahr asaat. Dan Muhammad bin Sa’ad, juru tulis Al-Waqidi, dalam bukunya Ath-Thabaqat Al-Kubra banyak menukil dari kitab tersebut.
b. Kitab Ath-Thabaqat Al -Kubraa, karya Muhammad bin Sa’ad (wafat tahun 230 H), dicetak dalam 14 jilid.
c. Kitab Thabaqat Ar -Ruwat, karya Khalifah bin Khayyath (wafat tahun 240 H).Ibnu Hajar mengambil darinya, dan terdapat manuskripnya hingga kini.
d. Kitab Ath-Thabaqaat, karya Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi (wafat tahun 261 H) dan tedapat manuskripnya hingga kini.
e. Kitab Ath-Thabaqat, karya Abu Bakar Ahmad bin Andillah Al-Barqi (wafat tahun 270 H), mengambil darinya Ibnu Hajar dalam Tahdzib Al-tahdzib.
f. Kitab Thabaqat Al -Muhadditsiin, karya Abul-Qasim Maslamah bin Qasim Al-Andalusi (wafat tahun 353 H).
g. Kitab Thabaqat Al-Muhadditsiin bi Ashbahan wal Wariidina µAlaiha, karya Abu Syaikh bin Hayyan Al-Anshary (wafat tahun 369 H) dan terdapat manuskripnya hingga kini.
h. Kitab Thabaqaat Al -Muhadditsiin, karya Abul-Qasim Abdurrahman bin Mandah (wafat tahun 470 H). Banyak karya yang sudah hilang, dan yang sampai ke tangan kita hanya sebagian kecil saja. Dan yang paling tinggi nilainya adalah kitab Ath-Thabaqat Al-Kubra karya Ibnu Sa’ad.
Dan di antara para penyusun ada yang menulis berdasarkan negeri-negeri, seperti :
a. Tarikh Naisabur, karya Imam Muhammad bin Abdillah Al-Hakim An-Naisabury (wafat tahun 405 H), dia termasuk kitab yang hilang.
b. Tarikh Baghdad, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Baghdadi yang dikenal dengan Al- Khathib Al-Baghdadi (wafat tahun 463 H), dicetak, dan dia termasuk kitab yang paling menonjol dan paling banyak manfaatnya.
c. Tarikh Dimasyq, karya seorang ahli sejarah Ali bin Al-Husain yang dikenal dengan Ibnu ‘Asakir Ad-Dimasyqi (wafat tahun 571 H)
E. Pandangan Ulama’ tentang Keadilan Sahabat
Seluruh ulam sepakat bahwa sahabat semuanya adalah adil, pendapat tersebut di sandarkan kepada ayat al-Qur’an di antara :
Dalam surat at Taubah ayat 100 juga di jelaskan:
 •     •         •           
Artinya:
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.

Dalam surat Al Afal ayat 74 juga di jelaskan
         •       •   

Artinya
Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka Itulah orang-orang yang benar-benar beriman. mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia
Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa keadilan sahabat telah di maklumi berlandaskan apa yang ditegaskan Allah Swt sendiri. Selain itu Allah juga memuji mereka. Oleh karena itu tidak perlu lagi menta’dilkan mereka sebab penta’dilan dari Allah ebih sahih mengingat Dia adalah Dzat yang Maha Mengetahui terhadap yang ghaib. Pernyataan Al-Ghazali mendapat dukungan ibn Salah, ia menjelaskan bahwa keadilan sahabat sudah tidak diperbantahkan lagi.
Hal ini sesuai dengan keterangan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ bahwa mereka semua adalah adil. Ulama’ Sunni juga menyepakati tentang keadilan sahabat, posisi sahabat sangat tinggi dalam pandangan mereka, dan mereka mengatakan bahwa sahabat itu tidak perlu diteliti keadilannya karena mereka semua adil. Dan pendapat ini ditentang oleh sebagian tokoh Mu’tazilah seperti Wasil bin ‘Atha’ dan Umar bin Abid, justru berpendapat bahwa suatu riwayat harus dibuang bila transmisinya berujung pada sahabat, tidak terkecuali Ali. Hal ini disebabkan mereka sama- sama pernah terlibat perang Jamal dan Siffin.
Menurut Ahl al-Bait, diantara para sahabat ada yang adil ada yang tidak adil, sebab keberadaan seorang sahabat tidaklah menjadi jaminan atas keadilannya. Satu hal penting untuk mengetahui keadilan seorang sahabat adalah menelusuri prilaku hidupnya hingga dapat disimpulkan bahwa ia adil dan dapat dipercaya atau sebaliknya.
Adapun sebaliknya jawaban Ahl Bait terhadap argument Al-Qur’an yang dijadikan landasan oleh kalangan sunni untuk merekomendasikan keadilan seluruh sahabat sebagai berikut : Seperti surat Ali Imran ayat 110, juga tidak tepat untuk dijadikan argument keadilan bagi seluruh sahabat Nabi. Mukhatabun (orang yang diajak bicara) ayat ini adalah ummat Islam secvara umum dibandingkan dengan ummat lainnya, status sebagai umat terbaik diberikan oleh ayat tersebut kepada mereka jika melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, serta beriman kepada Allah swt, dan sebaliknya bila tidak atau bahkan melakukan kemungkaran bukan lagi ummat terbaik. Argumen lain oleh Ahlul Bait yang dijadikan rujukan adanya sahabat yang tidak adil adalah terjadinya peperangan di kalangan sahabat yaitu perang siffin, antara kelompok Ali dan Muawiyah.
Segolongan ahli bahasa memilih madzhab jumhur, mengingat alas an-alsan dibawah ini;
a. Ibnu Hazm mengatakan, bahwa shabat yang paling utama sesudah Umar, ialah Muhajirin Auwalun.
b. Shabat yang turut mengadakan bai’ah di Al’aqabah, yaitu orang Anshar yang membai’ah di Al’aqabah.
c. Shabat yang turut bertempur diperang Badar
d. Shabat-shabah yang menyaksikan pertempuran nabi satu persatu hingga sampai ke perjanjian Hudaibiyah




BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian tersebut diatas kami menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Sahabat adalah orang yang bertemu Nabi saw yang bermujalasah dengannya baik lama atau sebentar, yang beriman kepada Allah dan Rasulnya baik ketika Rasulullah masih hidup atau sesudah wafat, hingga akhir hayatnya.
2. Keadilan sahabat adalah konsekuensi para sahabat secara kontinyu dalam menegakkan nilai-nilai agama, senantiasa beramal ma’ruf nahi mungkar dan tidak pernah berbohong kepada Rasulullah saw.
3. Menurut mayoritas ulama mengatakan bahwa seluruh sahabat adalah adil, namun sebagian lagi mengatakan bahwa tidak semua sahabat adil sebab bukanlah seorang manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan, sebagaimana yang terjadi pada manusia lainnya.





DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Bagdadi, Al-Khatib, “Kitab al-Kifayah”,Bairut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988

Al-Khatib, Muhammad Ajjaj, “Usul al-Hadits’Ulumuha ‘Ala Mustalahahu”, Bairut, Dar al-Fikr, 1989
Al-Ghazali, Muhammad, “Al-Mustafa ‘Ulum al-Hadits”, Bandung, Al-Ma’rif, 1970.

Departemen Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahannya”, 1986.

Hasbi As-Shidiqi, Muhammad, “Sejarah Pengantar Ilmu Hadits”, Semarang,
Pustaka Rizki Putra, 1999.
---------------,Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Bulan Bintang , Jakarta, 1976

Jumantoro, Totok, “Kamus Ilmu Hadits”,FF, Bumi Aksara, 1997

Kitabu Syuhnah, Muhammad, “Al-Wasit Fi al-‘Ulum Wa Mustalahu al-Hadits”, Kairo, Dar al-Fikr al-Arabi, tt

Manna’Al-Qathan, Syaikh, Pengantar Studi Hadits, Pustaka Al-Kausar, Jakarta,2009
Rahman, Fathur, “Intisari Mustalah al-Hadits”,Bandung, Al-Ma’arif, 1970.

Salah, Ibn, “Muqaddimah Ibn Salah Fi ‘Ulum al-Hadits”,Bairut, Dar al-Kutub al- Ilmiah, 1989.

Subhani, Zafar, “Ilahiyat ‘Ala Huda al-Kitab Wa al-Sunni Wa al-Aqli”,Vol III, Qan Teheran : Al-Markaz al-Alami Li al-Dirasah al-Islamiyah, 1990

Senin, 06 Desember 2010

skripsi

PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PEMIKIRAN
AL-GHAZALI

SKRIPSI










OLEH:
SAWALUDDIN
NPM:062410018

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S1)
Pada Fakultas Agama Islam
Universitas Islam Riau
Pekanbaru

FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2009
IADA KESUKSESAN DIRAIH TANPA KERJA KERAS
BEKERJA SAMBIL BERDO’A DENGAN NIAT YANG IKHLAS
SKRIPSI INI KUPERSEMBAHKAN PADA MAMA KU TERCINTA YANG MATI-MATIAN BANTING TULANG YANG TAK KENAL LELAH, WALAUPUN PANAS MENTARI MENERPA DI SIANG HARI HUJAN MEMBASAHI TUBUH DEMI ANAKNYA. DAN YANG SELALU MENETESKAN AIR MATA DISETIAP DO’ANYA DEMI CITA-CITA ANAKNYA TERCINTA.TERIMAKASIH MAMA ….. JASAMU TIADA TARA.. SEMOGA ILMU KUINI BERMANFAAT BAGI NUSA BANGSA DAN AGAMA JUGA MENJADI ANAK YANG BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA..
HAI…….KAWAN INGIN BERHASIL
INGAT…. HADITS RASUL ……
RIDHO ALLAH TERGANTUNG KEPADA RIDHO KEDUA ORANG TUA, MURKA ALLAH TERGANTUNG PADA MURKA KEDUA ORANG TUA.
MAKANYA …..AYO….. BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA……. JANGAN DURHAKAYA…………….OK….




DAFTAR ISI……………………………………………………………………….. i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………….……………………………. 14
B. Pembatasan Masalah………………………………………………... 19
C. Rumusan Masalah…………………………………………………… 19
D. Tujuan Penelitian …………………………………………………… 19
E. Manfaat Penelitian…………………………………………………… 19
F. Tinjauan Pustaka…………………………………………………… . 20
G. Kerangka Teoritis……………………………………………………. 22
H. Metodologi Penelitian……………………………………………….. 36

BAB II MENGENAL KEHIDUPAN AL-GHAZALI
A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali………………………………… 39
B. Perkembangan Spritual Imam Al- Ghazali……………………….. 41
C. Karya-karya Imam Al-Ghazali……………………………………. 43
BAB III PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
Konsep Imam Al-Ghazali Tentang Pendidikan Islam ( Faktor -Faktor Pendidikan ) :
a. Tujuan ………………………………………………………….. 47
b. Kurikulum…………………………………………………....... 52
c Metode………………………………………………………… 54
d. Pendidik……………………………………………………….. 60
e. Peserta didik…………………………………………………... 66
f. Evaluasi……………………………………………………..…. 69

BAB IV ANALISA
A. Ciri Khas Konsep Pendidikan Islam Al-Ghazali……………….… 72
B. Faktor Yang Mempengaruhi Pemikiran Al-Ghazali………….... 76

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………..… 83
B. Saran-saran………………. ……………………………………... 84
Daftar Pustaka……………… .……………………………………………..… 85













PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PEMIKIRAN
AL-GHAZALI







OLEH :
SAWALUDDIN
NPM : 062410018




PEMBIMBING I PEMBIMBING II



H.M.ALI NOER, MA DRS. RIZAL DAIRI, MA






SKRIPSI DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA PENDIDIKAN ISLAM PADA FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2009

SURAT KETERANGAN



Kami pembimbing dengan ini menerangkan bahwa mahasiswa yang tersebut dibawah ini :

Nama : Sawaluddin
NPM : 062410018
Fakultas : Agama Islam
Jur/Prog. Studi : Tarbiyah (PAI)/ SI

Telah selesai menyusun skripsi dan siap untuk diujikan, dengan judul :

“ PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PEMIKIRAN AL-GHAZALI”

Demikianlah surat keterangan ini kami buat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya .



Pekanbaru, 15 Desember 2009




PEMBIMBING I PEMBIMBING II




H.M.ALI NOER, MA DRS. RIZAL DAIRI, MA



BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI

Telah dilakukan bimbingan skripsi terhadap Mahasiwa:
1. Nama : Sawaluddin
2. NPM : 062410018
3. Jur/Prog. Studi : Tarbiyah (PAI)/ SI
4. Pembimbing I : H.M.Ali Noer, MA
5. Pembimbing II : DRS. Rizal Dairi, MA
6. Judul Skripsi : “Pendidikan Islam Menurut Pemikiran Al-Ghazali”

Dengan perincian dan jadwal sebagai berikut :

No Tanggal Pembimbing Berita Bimbingan Paraf
1 15-11-2009 H.M.Alinoer, MA Perbaikan Tulisan


2 30-11-2009 H .M.Alinoer, MA Perbaikan Kerangka Teoritis, dan Isi


3 14-12-2009 H .M.Alinoer, MA Perbaikan Daftar Pustaka dan Metode Penelitian


4 15-12-2009 H .M.Alinoer, MA Acc Untuk diMunaqosahkan



Pekanbaru, 15 Desember 2009
Dekan






Drs . M.Yusuf Ahmad, MA
BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI

Telah dilakukan bimbingan skripsi terhadap Mahasiwa:
1. Nama : Sawaluddin
2. NPM : 062410018
3. Jur/Prog. Studi : Tarbiyah (PAI)/ SI
4. Pembimbing I : H.M.Ali Noer, MA
5. PembimbingII : DRS. Rizal Dairi, MA
6. Judul Skripsi : “Pemikiran Islam Menurut Pemikiran Al-Ghazali”


Dengan perincian dan jadwal sebagai berikut :

No Tanggal Pembimbing Berita Bimbingan Paraf
1 15-09-2009 Drs.Rizal Dairi, MA Perbaikan Latar Belakang
Perbaikan Penulisan
2 01-10-2009 Drs.Rizal Dairi, MA Perbaikan Tinjauan Teoritis

3 15-10-2009 Drs.Rizal Dairi, MA Perbaikan Isi Analisis
4 30-10-2009 Drs.Rizal Dairi, MA Perbaikan Daftar Pustaka

5 02-11-2009 Drs.Rizal Dairi, MA ACC untuk dilanjutkan ke Pembimbing I

Pekanbaru, 15 Desember 2009
Dekan



Drs . M.Yusuf Ahmad, MA


UNIVERSITAS ISLAM RIAU
FAKULTAS AGAMA ISLAM
SKRIPSI INI TELAH DITERIMA DAN DISETUJUI UNTUK DI MUNAQOSAHKAN DALAM SIDANG PANITIA UJIAN SARJANA (SI) PADA FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM RIAU DAN TELAH MEMENUHI SEBAGAI SYARAT DAN TUGAS YANG TELAH DITETEPKAN.

H .M.Ali Noer, MA Pembimbing I

(………………………)

Drs.Rizal Dairi, MA Pembimbing II

(………………………)

Devi Arisanti, M.Ag Ketua Jurusan

(………………………)



PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PEMIKIRAN AL-GHAZALI
ABSTARKSI

Oleh : Sawaluddin

Imam Al-Ghazali lahir pada tahun 1059 M/450 H Ghazzala, Thusia sebuah kota di Khurasan, Persia. Dan beliau juga wafat di Thusia pada tahun 1111M/505 M. Nama lengkap beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad AL-Gazzaly. Al-Ghazali terkenal dengan sebutan Al-Ghazali, dikarenakan dia lahir di Ghazzala. Dia juga dikenal sebagai sorang ahli fiqih (Hukum ), ahli kalam (Teologi ), pemikir yang original, ahli tasauf terkenal yang mendapat julukan “Hujjatul Islam (Pembela Islam).
Adapun latar belakang masalah penelitian ini adalah berkenaan dengan tuduhan para filosof terhadap Al-Ghazali, yang mengatakan beliau orang yang mendikotomi ilmu pengetahuan, sedangkan rumusan masalahnya adalah pendidikan Islam menurut pemikiran Al-Ghazali dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran pendidikan Al-Ghazali. Sedangkan tehnik dalm penelitian ini adalah mengumpulkan literature yang berkaitan dengan Al-Ghazali kemudian baru dianalisis untuk mendapatkan konsep pendidikan nya,yang akurat dan jelas. Adapun kesimpulannya adalah tujuan pendidikannya adalah “Kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah,dan Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat”. Dan bila kita lihat konsep yang dikemukan beliau mengacu kepada konsep pendidikan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist
Sedangkan kurikulumnya adalah mengedepankan ilmu agama tanpa mengesampingkan ilmu umum dengan artian adanya keseimbangan .Metode yang beliau kembangkan adalah metode keteladanan, mengajarkan ilmu sesuai dengan tingkatannya, memberikan nasihat.Sedangkan evaluasi yang beliau lakukan adalah menguji bukan saja secara koknitif saja tetapi juga apeksi dan motoriknya. Al-Ghazali memandang guru adalah orang yang harus bekerja ikhlas tidak boleh mengharap kan upah ,dan murid adalah orang yang harus mengedepankan rasa hormat terhadap guru. Adapun yang melatar belakangi pemikiran pendidikan Islam Al-Ghazali adalah Pendidikan, Itelektual dan Politik.
Diantara konsep pendidikannya yang telah di kemukakan masih ada yang relevan diterapkan dalam dunia pendidikan Islam saat ini seperti tujuan, metode, kurikulum, murid, sedangkan yang tidak relevan lagi adalah konsepnya tentang guru. Dilain sisi konsep pendidikan Al-Ghazali mempunyai sisi kelebihan seperti mengedepankan pembersihan hati dalam mengajar dan belajar ilmu sedangkan kekurangannya menurut hemat penulis adalah bersipat tradisonalSehingga menurut penulis konsep pendidikan Islam yang di kemukakan Al-Ghazali dalam beberapa hal masih dapat diterapkan dalam dunia pendidikan Islam termasuk Indonesia .

KATA PENGANTAR
Tiada kata yang lebih tepat dan paling indah untuk diucapkan untuk mengungkapkan rasa syukur yang tiada terhingga kecuali mengucapkan kalimat Al-Hamdulillahi Robbil ‘alamin kepada Allah SWT. Atas segala limpahan nikmat dan hidayah dan ‘Inayah –Nya kepada penulis selaku hamba- Nya, sehingga –meski dengan susah payah dan keterbatasan dan kekurangan, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini yang berjudul :
“ PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PEMIKIR AN AL-GHAZALI”
sebagai karya tulis ilmiyah guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam Universitas Islam Riau.
Selanjutnya, shalawat dan salam buat Rasulullah SAW.Sebagai pembawa risalah Islam dimuka bumi ini dan telah menancapkan dasar-dasar Tarbiyah Islamiyah dengan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman bagi umat manusia dalam mengerjakan tugas dan kewajibannya sebagai hamba dan khalifah dimuka bumi.
Dalam lembaran ini penulis, ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sangat dalam seraya mempersembahkan tulisan ini kepada seluruh pihak yang telah berperan baik secara langsung maupun tidak langsung atas terselesaikannya tulisan ini:
1. Pengurus Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Daerah Riau, selaku Pinpinan dari Universitas Islam Riau.
2. Bapak Profesor.DR.H.Detri Karya MA, sebagai Rektor di Universitas Islam yang telah membawa kemajuan yang sangat berarti bagi Universitas Islam Riau.
3. Bapak Drs.M Yusuf Ahmad MA.SebagaiDekan Fakultas Agama Islam Universitas Islam Riau yang telah memberikan fasilitas dan motivasi bagi penulis selama proses penulisan skripsi ini .
4. Bapak H.M.Ali Noer, MA sebagai Pembimbing I yang telah banyak mengarahkan dan membimbing penulis hingga selesainya tulisan ini.
5. Bapak Drs.Rizal Dairi, MA sebagai Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan menyumbangkan pikirannya dengan penuh kesabaran dalam memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.
6. Para Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Riau yang telah banyak berjasa dalam menyumbangkan ilmunya dari awal kuliah hingga penulis sampai kepada penyelesaian Tugas Akhir dari masa perkuliahan.
7. Para Karyawan di Fakultas Agama Islam dan Universitas Islam Riau, terutama para ibu penjaga perpustakaan baik di Fakultas Agama Islam dan Perpustakaan Universitas Islam Riau.
8. Karyawan dan penjaga Perpustakaan wilayah Soeman HS. Provinsi Riau yang telah banyak membantu penulis dalam mengumpulkan literatur yang penulis butuhkan dalam penulisan skripsi ini.
9. Ayahanda tercinta (Jeges Siregar.Alm ) dan Ibunda tercinta (Maslan Harahap) yang telah banyak berkorban, meneteskan, air mata disetiap do’anya dan mengucurkan keringat dalam usahanya agar penulis senantiasa dalam lindungan Allah SWT, dan dapat meraih cita-cita sebagai anak yang berguna dan berbakti pada orang tua juga, bagi nusa, bangsa dan Agama.
10. Abang dan Kakanda tercinta se ayah dan seibu (Paringgonan Siregar, Tohong Siregar, Sopian Siregar, M.Rafi Siregar, Kapiten Siregar, Launa Siregar, Nur Sima Siregar ) atas bantuan, dukungan dan do’anya agar penulis menamkan cita-cita yang tinggi dan dapat menyelesaikan tulisan ini.
11. Kawan-kawan dan adik-adik seperjuangan sesama Mahasiswa dan kawan-kawan dan adik-adik sesama Alumni Pondok Pesantren Musthopawiyah Purba baru terutama adinda Zainab Nasution, yang telah banyak memberikan dukungan baik moril maupun materil kepada penulis.
12. Teman-teman seperjuangan Mahasiswa-Mahasiswi angkatan 2006 Fakultas Agama Islam Universitas Islam Riau,yang telah saling membantu dan mengingatkan selama kita bersama dalam perkuliahan.
13. Kawan-kawanku tercinta (Ismail, Sirajuddin, Mirwan, Hamidah, Bunda A’imi, Eri Ikhsan, Darwin, Ridho, Oji, Herpan,Yeni Yuliana, Bunda Darwani, Bunda Yunizar, Suryani, Rosita, Ubaidillah, Samsuddin, dan yang mungkin tak tersebut namanya) yang telah banyak membantu penulis saat melakukan penulisan skripsinya.
14. Seluruh Keluarga Besar Pondok Pesantren Musthopawiyah Purba Baru(Ayahanda Pinpinan, para Ayahanda Guru dan Ibunda Guru, terutama ayahanda Umar Bakri Lubis, Ayahanda Mukmin, Ayahanda Arda Bili, Ayahanda Yakub, Ayahanda Amrin Nasution, Ayahan Rhomadhan, Z tak terlebih Paman Drs.Yuhibban Siregar, Oppung Mukhtar Nasution Alm, Ustad. Khoir, Ayah Zainal, yahanda Bahrum Alm, Ayahanda Mahmuddin Pasaribu, Abang Sabbana tempat penulis menimbah ilmu pengetahuan sebelumnya, dan tempat meminta nasehat dan bimbingan.
15. Seluruh masyarakat lingkungan Rw 03/Rt 03 tangkerang timur tempat penulis tinggal, terutama, Jama’ah Mesjid Nurul Fitrah, Bapak Pengurus, Ibu-ibu Majelis Ta’lim, pak RW 03, RT 03 yang telah banyak memberikan dorongan dan nasehat pada penulisan tak terlebih keluarga Besar Jamali SE, dan Indra Alamsah Lubis, bang Zulpan sekeluarga,bapak IR. Nalfison sekeluarga.
Semoga atas bantuan dan dukungan nya selama ini menjadi amal ibadah dan akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT.Amiin.

Pekanbaru , 15 Desember 2009
Penulis


Sawaluddin
NPM:062410018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam dunia pemikiran Islam, nama Al-Ghazali bukanlah figur yang asing karena begitu banyak orang yang menemukan namanya dalam berbagai literatur, baik klasik maupun modern. Dia adalah pemikir besar dalam dunia Islam abad ke-5 H, yang terkenal dengan julukan “Hujjat Al-Islam” yang tak pernah sepi dari pembicaraan dan sorotan, baik pro maupun kontra.
Kemasyhuran nama Al-Ghazali adalah karena beliau seorang tokoh yang selalu haus akan ilmu pengetahuan, serta mempunyai keinginan yang kuat untuk mencapai keyakinan dan mencari hakikat kebenaran. Kecintaanya terhadap ilmu pengetahuan membuat sang Hujjatul Islam melakukan pengembaraan intelektual dan spiritual dari ilmu kalam ke filsfat, kemudian kedunia batiniah dan akhirnya membawanya kepada tasawuf. Selain dari itu terdapat pemikiran-pemikirannya yang bersifat monumental
(M. Solihin:2001:9).
Kondisi pemikiran Islam pada masa Al-Ghazali banyak diwarnai pertentangan berbagai aliaran pemikiran. Walaupun demikian, hal ini tidak berarti pada masa Al-Ghazali merupakan abad kemunduran, tetapi justru menandakan bahwa pemikiran Islam sedang berkembang pesat.
Perkembangan pemikiran Al-Ghazali mulai berkembang serta pengkajiannya tentang ilmu pengetahuan seperti fiqih, tafsir, kalam dan lain sebagainaya. Selain dari pada itu dialog-dialog intelektual dengan nuansa perdebatan menandakan upaya pencaraian kebenaran melalui argumentasi ilmiah. Namun sangat disayangkan, dialog-dialog intelektual itu mengarah pada upaya mempertahankan doktrin aliran masing-masing. Aliran yang sangat populer ketika itu adalah aliran kalam, aliran filsafat, aliran tasawuf dan aliran batiniah. Hingga pada akhirnya Al-Ghazali menjatuhkan pilihan kepada aliran kalam dengan latar belakang untuk mempertahankan akidah Ahli
As-Sunnah dan melindungi dari Ahli Al-Bid’ah ketika itu ia memandang akidah sunnah sedang dilanda krisis akibat serangan kaum Ahli Bid’ah.
Setelah mendalami ilmu kalam, Al-Ghazali melihat bahwa bahaya yang ditimbulkan ilmu kalam lebih besar dibanding manfaatnya, serta tidak mampu mencapai ilmu yang benaran dan tidak bisa mengenal Allah Ta’ala secara hakiki. Dengan alasan tersebut maka Al-Ghazali pun beralih dari aliran kalam ke aliran filsafat.
Pada aliran filsafat Al-Ghazali juga tidak menemukan sebuah kebenaran yang ia cari namun yang terjadi adalah Al-Ghazali malah menentang para filosof pada masanya dan mengecam mereka. Alasanya adalah menurut Al-Ghazali dalam aliran filsafat (para filosof) membahayakan akidah, melihat keadan tersebut beliau menulis buku yang berjudul Maqashid Al-Falasifah. Walupun Al-Ghazali membenci dan mengkritik para filosof bukan berarti ia menolak semua faham-faham filsafat secara keseluruhan.
Ketika melihat filsafat tidak mampu mengungkapkan ilmu metafisika, ditambah dengan kerancuan dalil-dalil yang mereka gunakan, maka Al-Ghazali meninggalkan filsafat setelah mengkritiknya melalui Tahafut Al-Falasifah, kemudian mendalami aliran batiniah.
Berlawanan dengan para filosof yang menggunakan rasio sebebas-bebasnya maka kaum batiniah tidak mengakui peranan rasio. Mereka hanya mengakui dan menerima realitas-realitas dari imam yang ma’shum, yang menurut mereka selalu ada pada setiap masa. Mereka mengatakan satu-satunya cara yang benar untuk memahami ilmu adalah dengan metode pengajaran dari imam yang ma’shum.
Alasan itulah yang membuat Al-Ghazali mudah menerima aliran batiniah dan sesuai dalam pemahamanya.Namun pada akhirnya Al-Ghazali kembali mengkritik aliran batiniah sama halnya yang ia lakukan pada aliran kalam dan filsafat, dengan mengemukakan alasan bahwa liran batiniah yang tidak mengakui Al-Qur’an dan menyimpan tujuan politisi. Akibat dari kritikan tersebut Al-Ghazali mengalami krisis pemikiran dan terjadi peperangan dalam pemikirannya serta hatinya dalam waktu yang cuklup lama. Hingga akhirnya ia menemukan tempat yang pas dan menjatuhkan pilihanya pada aliran tasawuf hingga ia dikenal dengan orang yang ahli dibidang tasawuf dan melahirkan karya terbesarnya yaitu Ihya ‘Ulum Ad Din ( M. Solihin: 2001:23-26).
Setelah Al-Ghazali berada dalam aliran tasawuf dan mendalaminya terdapat berbagai persoalan yang bermunculan dalam masyarakat, seperti pemimpin Negara dan ulama-ulama penjilat yang mengelabui masyarakat untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan duniawi. Bahkan pada masa tersebut banyak ulama–ulama yang mengadu kekuatan dengan berdebat ilmu pengetahuan dan agamanya, tetapi dibalik itu semua mereka ingin dipuji dan sanjungan dari masyarakat. Sehingga tepat sekali Al-Ghazali menggambarkan masyarakat pada masa itu sebagai orang-orang taqwa yang palsu, bahkan orang sufi yang palsu, yang akan menipu manusia dengan taqwanya (Hussein Bahreisj: 1981:18).
Berangkat dari gambaran Al-Ghazali tersebut tentang masyarakat pada saat itu dan beralihnya Al-Ghazali dari filsafat serta munculnya perkataan Al-Ghazali yang mengharamkan filsafat menimbulkan kontropersi dikalangan pemikir pada saat itu. Ada yang mendukung dengan memberikan pujian, seperti yang diungkapkan oleh As-Subkhi (Wafat tahun 1370 H) “seandainya ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad maka ia adalah Al-Ghazali”, disisi lain ada yang menentang dengan mengkritiknya, dengan mengatakan ” Dosa besar, kemunduran umat Islam dalam bidang duniawi dan filsafat adalah atas tanggung jawab beliau, karena menganjurkan hidup sufi zuhud serta uzlah.”
Oleh karena itu Al-Ghazali dikecam dengan kata-kata yang tajam dan pedas dengan mengatakan “Ghazali musuh dan musuh ahli pikir dan pengibri berpikir yang berani, dari zaman Ghazali lah bertolak kemunduran Islam. Karena beliau anti ilmu pengetahuan umum seperti filsafat, kimia, ilmu alam, mate-matika, karena semua itu menurut Al-Ghazali menjerus kearah anti Tuhan atau Ateisme. Sikap Al-Ghazali yang menentang dan mengharamkan pengetahuan umum, menjadi dasar bagi pemikir untuk menuduh Al-Ghazali mendikotomi pendidikan (Umum dan Agama).
Tidak sampai disitu para sarjana muslim Indonesia, diantaranya Dr. Oemar Amin Hoesin, juga memvonis bahwa Al-Ghazali menjadi “Starting Point”, penggerak, bagi langkah pertama dari kemunduran kebudayaan Islam, karena kejayaan yang diperolehnya menyerang natural sciences. Tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh para pemikir lain termasuk Dr. Oemar Amin Hoesin dibantah oleh symposium yang diadakan oleh BKSPTIS (Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta) di Jakarta, tanggal 26 Jannuari 1985, telah menjawab kecaman-kecaman dan kritikan–kritikan, yang dijawab oleh Harun Nasution dengan mengatakan “Sebab tidak berkembangnya pemikiran fitsafat dalam dunia Islam sesudah jatuhnya Bagdad pada pertengahan abad XIII, tidak lah bisa dikatakan/diletakkan pada serangan Al-Ghazali terhadap pemikiran para filosuf sebagaimana yang terkandung dalam Tahafut Falasifah. (Drs. Zainuddin dkk:1991:11-13)
Sementara Al-Ghazali sendiri dalam menanggapi tuduhan tuduhan tersebut menjawab dengan bukunya yang bejudul Ihya’ Ulumuddin dan Ayyu Al-Walad yang ditulis beliau setelah sembuh dari krisis kejiwaannya yang mana isi dari buku tersebut adalah dalam pemikiran pendidikannya mengedepankan “pembersihan jiwa dari noda-noda akhlak dan sifat tercela. Sebab ilmu merupakan bentuk ibadah hati, shalatnya nurani dan pendekatan jiwa menuju Allah SWT”. (Muhammad Jawwad Ridla :2002:119)
Berangkat dari penomena yang terjadi pada kalangan pemikir Islam tentang pendidikan Islam khususnya tentang konsep pendidikan Islam Al-Ghazali yang telah terjadi kontroversi yang telah penulis kemukan diatas. Maka penulis ingin meneliti lebih dalam seperti apa konsep Al-Ghazali tentang pendidikan Islam itu sendiri, dengan judul :
“PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PEMIKIRAN AL-GHAZALI”
B. Batasan Masalah
Mengingat banyaknya masalah diatas maka penulis memberikan batasan masalah, adapun yang dibahas hanya :
1. Pendidikan Islam menurut pemikiran Al-Ghazali
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran Pendidikan Islam Al-Ghazali
C. Perumusan Masalah
Mengingat masalah diatas maka penulis memberikan rumusan masalah adalah:
1. Bagaimana Pendidikan Islam menurut pemikiran Al-Ghazali?
2. Apa fakto-faktor yang mempengaruhi pemikiran Pendidikan Islam AL- Ghazali?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Pendidikan Islam menurut pemikiran
Al- Ghazali
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang melatar belakangi pemikiran Pendidikan Islam Al- Ghazali
E. Manfaat Penelitian
a. Sebagai bahan referensi bagi pihak sekolah dan pendidik lainnya dalam mengembangkan konsep pendidikan Islam
b. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran bagi dunia akademis, praktis pendidikan, dan orang-orang yang bergelut dalam dunia pendidikan
c. Sebagai salah satu sarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S-1) di Fakultas Agama Islam Universitas Islam Riau.
F. Telaah Pustaka
Dalam menjaga keorisinilan penelitian, maka penulis mengadakan kajian kepustakaan, agar tidak terjadi kekeliruan dan kesalah pahaman dalam tulisan serta agar terhindar dari tuduhan penciplakan karya orang lain. Maka penulis akan menyebutkan judul Skripsi nama penulis yang penulis ambil dari jaringan internet yang telah menulis tentang pendidikan Islam menurut pemikiran Al-Ghazali yaitu sebagai berikut :
1) Nama penulis skripsi : Mar’tus Sholihah, judul skripsi “Relevansi Pemikiran Islam Al-Zarkasyi dengan pemikiran Al-Ghozali”. Kesimpulannya adalah pemikiran Imam Al-Zarkasyi adalah memandang bahwa ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum harus mendapatkan perhatian yang seimbang. Sedangkan pemikiran Al-Ghazali adalah memandang bahwa ilmu pengetahuan yang pertama kali wajib di pelajari bagi setiap muslim (fardhu ‘ain) adalah ilmu tentang tugas-tugas akhirat yaitu ilmu tauhid, ilmu Al-Syariah dan ilmu Al-Sirri. Sedangkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan urusan keduniaan juga wajib di pelajari tetapi hanya fardhu kifayah.
2) Nama penulis skripsi : Anisah, judul skripsi “Studi Kritis Pemikiran Al-Ghazali tentang profesionalisme guru Agama”. Kesimpulannya profesionalisme guru agama menurut Imam Al-Ghazali adalah seorang guru harus mampu mengantarkan peserta didik kepada Allah SWT.
3) Nama penulis skripsi : Uswatun Hasanah, judul skripsi “Kajian Kritis Tentang Konsep Pendidikan Akhlaq Al-Ghazali”. Kesimpulannya adalah kontribusi Al-Ghazali tentang pendidikan akhlaq secara operasional dapat di aplikasikan dan bisa di jadikan rujukan berdasarkan atas tujuannya sangat jelas, metode yang diajarkan sangat realistis dan pragmatis dan konsepnya telah mencakup semua aspek manusia baik jasmani maupun rohani, demi terciptanya manusia yang sempurna.
4) Nama penulis Tesis : Drs.M .Yusuf Ahmad, judul Tesis “Kompetensi dan Peranan Guru Menurut Pandangan Al- Ghazali” Kesimpulan adalah guru harus mempunyai kompetensi sesuai dengan yang terdapat Dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 pada pasal 10 erat kaitannya dengan syarat yang harus dimiliki guru berkualitas seperti guru harus memiliki kompetensi : a) Kompetensi kepribadian; b) Kompetensi Profesional;. c) Kompetensi Pedagogik; dan ) Komptensi Sosial, (2007)
Sedangkan penelitian penulis adalah tentang konsep pendidikan Islam menurut pemikiran Al-Ghazali secara keseluruhan yang dipandang dari segi komponen pendedidikannya yaitu (Tujuan Pendidikan Islam, Kurikulum Pendidikan Islam, Metode Pendidikan Islam, Peserta didik, Anak didik, dan Evaluasi Pendidikan Islam ). Dan dengan kajian pustaka diatas, penulis yakin bahwa pengambilan judul skripsi ini masih orisinil dan bukan menjiplak atau meniru dari skripsi orang lain.
G. Kerangka Teoritis
Islam adalah Agama yang diridhai Allah, yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW, yang dipilih sebagai rasul terahir. Ajaran Allah yang disebut Agama Islam terhimpun secara lengkap dan terhimpun dalam Al-Qur’an sebagai mana tertera dalam surat Ali Imran ayat 138 :
  ••    
Artinya :
“(Al Quran) Ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” .”(Q.S:3:138).(Al-Qur’an dan terjemah, Depag RI)
Dalam kehidupan manusia pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam membentuk generasi mendatang. Sebab dengan pendidikan diharapkan dapat menghasilkan manusia yang berkualitas, bertanggung jawab dan mampu mengantisipasi masa depan. Pendidikan dalam arti sempit dibatasi pada pertemuan antara orang dewasa yang berperan sebagai pendidik ,dengan anak yang belum dewasa (Anak didik).Sedangkan Pendidikan dalam makna yang luas senantiasa menstimulir, menyertai perubahan-perubahan dan perkembangan umat manusia. Selain itu, upaya pendidikan senantiasa menghantar, membimbing perubahan dan perkembangan hidup serta kehidupan umat manusia. (Abd.Halim Soebahar :2002: 11-13)
Pendidikan Islam pada masa Rasul, terjadi pada periode awal dalam sejarah Islam. Pemikiran pendidikan pada masa ini tampak pada dua sumber utama yang tidak terdapat pemisahan tetapi mencakup keseluruhan, yang mana diambil dari sumber AL-Qur’an dan Hadits. Pendidikan pada masa Khulafau Rasyidin tidak lari dari pada konsep yang telah ditanamkan Rasul semasa beliau hidup, yakni berpegang teguh pada AL-Qur’an dan Hadits. Artinya tidak ada pemikiran baru pada masa Khulafau Rasyidin, kecuali hanya sedikit bercampur dengan filsafat yunani. Akan tetapi pengaruhnya hanya sedikit, hanya berkisar pada logika bukan pada filsafat dalam pengertian luas, seperti pada masa-masa sesudah Khulafau Rasyidin.
Sedangkan pada masa Umayyah, merupakan babak baru dalam perkembangan pemikiran pendidikan Islam, karena kesetabilan politik telah dirasakan oleh negri-negri Islam. Sehingga orang mulai mengarahkan perhatian pada kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan peradaban-peradaban baru. Pemikiran Pendidikan pada masa ini tampak dalam bentuk-bentuk nasihat khalifah kepada pendidik anak-anaknya, seperti perkataan Abdul Malik Bin Marwan kepada pendidik anaknya “Hendaklah pendidik mendidik akal, hati, jasmani anak-anak.
Berbeda pada masa Abbasiyah, sebab keterbukaan pada kebudayaan dan peradaban asing terbuka seluas-lusanya. Dalam sejarah, pada masa ini adalah puncak “keemasan”, sebab ilmu akal sudah mulai masuk, pembinaan sekolah-sekolah dan timbulnya pemikiran pendidikan yang istimewa. Dan pada masa ini pula munculnya ketrlibatan ulama-ulama Islam yang menulis tentang pendidikan dan pengajaran secara meluas dan mendalam yang menunjukkan perhatian khusus dalam bidang pendidikan. (Susanto:2009:25-31)
Pendidikan Islam dalam pemahaman Hasan Langgulung mencakup kehidupan manusia seutuhnya, tidak hanya memperhatikan segi akidah, tetapi juga ibadah serta akhlak. Lebih lanjut Hasan Langgulung menjelaskan bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses spiritual, akhlak, intelektual, dan sosial yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai dan prinsip-prinsip serta keteladanan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersispkan kehidupan. Dengan demikian menurut beliau pendidikan Islam harus mencakup seluruh dimensi yang ada dalam diri manusia, yaitu pisik, akal, akhlak, iman, kejiwaan, estetika, dan sosial kemasyarakatan (Susanto :2009:128-129).
Dalam buku “Pradigma baru pendidikan Islam” dikatakan bahwa pendidikan Islam dan Indonesia dan umunya dinegara lain masih terdapat persoalan dari berbagai aspek yang lebih komplek yaitu berupa dikotomi pendidikan, kurikulum, manajemen dan lainnya. Padahal dalam pendidikan Islam tidak terdapat dikotomi baik dari segi manajemennya, kurikulumnya pun. Lebih lanjut dikatakan bahwa pendidikan Islam harus mengacu pada kerangka dasar filosifis Pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam (Hujair AH. Sanaky: 2003:11).
Dalam buku “Pradigma baru pendidikan Islam” dikatakan bahwa pendidikan Islam harus mengacu pada kerangka dasar filosifis Pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam (Hujair AH. Sanaky: 2003:11). Untuk mengetahui lebih lanjut tentang konsep pendidikan Isam dapat dilihat dari segi Faktor pendidikan Islam yang meliputi:
a. Tujuan
Tujuan pendidikan secara Universal adalah mewujudkan kedewasaan anak didik, baik secara jasmani maupun rohani. Kedwasaan rohani adalah kemampuan bertanggung jawab sendiri terhadap sikap, cara berfikir dan bertingkah laku, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain dan Allah SWT ( Hadari Nawawi:1993:120-121).
Sedangkan dalam buku “Pradigma baru pendidikan Islam” oleh Hujair AH. Sanaky tujuan pendidikan Islam adalah membentuk “Insan Kamil” yang berpungsi menjadi RahmatalLi’alamin. Dalam surat luqman ayat 13-16 Allah menjelaskan dengan jelas tentang Tujuan pendidikan Islam

               
Artinya: Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".(Q.S:31:13).

     •            
Artinya: Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S:13:14).


                   •             
Artinya: Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan. (Q.S:13:15).

 •                    •    
Artinya: Dan sederhanalah kamu dalam berjalan[1182] dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
(Q.S:13:16).(Al-Qur’an dan terjemah, Depag RI)
Ahmad D Marimba mengatakan tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya manusia yang mempunyai kepribadian muslim sesuai dengan tujuan hidup seorang muslim yakni menghambakan diri kepada Allah. Sebagai mana firman Allah.
Dalam Al-Qur’an dijelaskan dalam surat AZ-Dzariat 56 Allah berfirman :
      
Artinya :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S:51:56).(Al-Qur’an dan terjemah, Depag RI)
Selain dari itu tujuan pendidikan Islam adalah untuk menciptakan manusia ‘abid (penyembah Allah yang hidupnya selalu dinamis dan secara evolutif bergerak menuju kesempurnaan Allah).
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 201 Allah juga menjelaskan

 •            • 
Artinya :
Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka (Q.S:02:201).(Al-Qur’an dan terjemah, Depag RI)
Mehdi Nakosteen “Dalam buku Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat” disebutkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah “menjadikan manusia yang cerdas secara ruhani dan jasmani” (dunia dan akhirat), sebagai mana sabda Nabi dalam hadits nya : “Yang terbaik diantara kamu bukan lah orang yang melalaikan dunianya untuk mengejar akhiratanya, atau melalaikan akhiratnya untuk mengejar dunia.Yang terbaik diantara kamu adalah yang berusaha untuk untuk mencari keduanya (Mehdi Nakosteen: 2003:55) .
Sejalan dengan tujuan pendidikan Islam diatas terdapat juga rumusan Internasional, ketika dilakukannya konfrensi pendidikan Islam di Islamabat tahun 1980, yaitu “Pendidikan harus merealisasikan cita-cita (Idealitas) Islam yang mencakup pengembangan kepribadian muslim yang bersifat menyeluruh secara harmonis yang berdasarkan psikologis dan psiologis maupun yang mengacu kepada keimanan dan sekaligus berilmu pengetahuan secara berkeseimbangan sehingga terbentuklah manusia muslim yang sempurna yang berjwa tawakkal secara total kepada Allah. (Abd.Halim Soebahar :2002:17-19)
Sedangkan menurut Hasan Langgulung tentang tujuan pendidikan Islam, menyebutkan bahwa dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam harus meliputi tiga hal yaitu :AL-Qur’an, Sunnah, dan Ijitihad.
Melihat dari tujuan pendidikan Islam diatas ditemukan juga dalam UU No 20 tahun 2003. Adapun tujuan pendidikan yang terdapat dalam Undang –undang SIKDIKNAS Nomor 20 tahun 2003 adalah: “Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
b. Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan tertentu meliputi tujuan pendidikan Nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh karena itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Omar Muhammad At-Toumy Al-Syaibani menyebutkan dalam kurikulum pendidikan Islam harus memiliki lima perkara:
1. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan, kandungan, metode, alat, teknik yang bercorak agama.
2. Meluas cakupannya dan kandungannya, yaitu kurikulum yang mencermin semangat, pemikiran dan ajaran yang menyeluruh.
3. Bersikap seimbang diantara berbagai ilmu yang dikandung dalam kurikulum yang akan digunakan.
4. Bersikap menyeluruh dalam menata mata pelajaran yang diperlukan anak didik
5. Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan dengan minat dan bakat anak didik. (Abuddin Nata :2005:179).
Hasan Langgulung memberikan pengertian bahwa Kurikulum adalah sejumlah pengalaman, pendidikan, kebudayaan, sosisl, keolahragaan dan kesenian yang disediakan sekolah, untuk menolong mereka berkembang dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pendidikan. Lebih lanjut beliau mengatakan dalam kurikulum tidak ada dikotomi, yakni penyatuan antara pelajaran umum dan agama (Susanto :2009:135-136).
Dalam buku Asas-asas Pendidikan Islam oleh Hasan Langgulung, lebih lanjut mengatakan bahwa Kurikulum pendidikan Islam bersifat fungsional, tujuannya mengeluarkan dan membentuk manusia Muslim, kenal Agama,dan Tuhannya, berakhlak Al-Qur’an, tetapi juga mengeluarkan manusia yang mengenal kehidupan, sanggup menikmati kehidupan yang mulia, dalam masyarakat bebas dan mulia, sanggup memberi dan membina masyarakat itu dan mendorong dan mengembangkan kehidupan disitu, melalui pekerjaan tertentu yang dikuasainya.( Hasan Langgulung:2003:114)
c. Pendidik
Dalam melaksanakan pendidikan Islam, peranan pendidik sangat penting, sebab pendidik adalah orang yang bertanggung jawab dan menentukan arah pendidikan tersebut. Itulah sebabnya Islam sangat menghargai dan menghormati orang–orang yang berilmu pengetahuan yang bertugas sebagai pendidik, (Zuhairini dkk:2004:167)
Dalam bukunya Hadari Nawawi pendidik adalah orang yang mempunyai wibawa, memiliki sikap tulus dan ikhlas, keteladanan, dan mempunyai tanggung jawab terhadap perkembangan pendidikan peserta didik. (Hadari Nawawi:1993:108-112).
Ibnu Sina mengatakan dalam buku Al-Siyasah seorang guru itu seharusnya adalah orang yang cerdas, agamis, bermoral, simpatik, karismatik, dan pandai membawa diri. (Muhammad Jawwad Ridla :2002:212).
d. Anak Didik
Pendidikan merupakan bimbingan dan pertolongan secara sadar yang diberikan oleh pendidik kepada anak didik sesuai dengan perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan. Anak didik dalam pandangan Islam adalah lahir dalam keadan lemah dan suci/fitrah, sedangkan alam sekitarnya akan memberikan corak dan warna terhadap nilai hidup atas pendidikan agama pada anak didik. Sesuai dengan Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 30:
         ••             ••   
Artinya :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S:30:30).(Al-Qur’an dan terjemah, Depag RI)
Ayat diatas menjelaskan bagi kita bahwa setiap anak itu dilahirkan suci/ fitrah, dan membawa fitrah beragama, dan kemudian bergantung pada para pendidiknya. Dalam mengembangkan fitrah itu sendiri sesuai dengan usia dan pertumbuhannya (Zuhairini dkk:2004:170-171).
e. Metode
Metode adalah salah satu faktor penting dalam pendidikan, sebab dengan metode kita akan mudah mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Oleh karena itu Metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapi tujuan yang diinginkan. Bila dikaitkan dengan pendidikan Islam maka metode adalah sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlihat pribadi yang Islami.
Adapun fungsi dari metode tersebut adalah sebagai cara atau jalan untuk membantu pelaksanaan operasional pembelajaran. Dalam mengajarkan/ menyampaikan pelajaran dapat menggunakan berbagai metode seperti teladan, kisah-kisah, nasihat, pembiasaan, hukuman dan ganjaran, ceramah, diskusi, dan lainya. (Abuddin Nata :2005:143-147)
Dalam Al-Qur’an surat Al-Alaq ayat 5 yang berbunyi
     
Artinya :
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya(Q.S:96:5) .”
.(Al-Qur’an dan terjemah, Depag RI)
f. Evaluasi
Dalam proses pendidikan Islam, tujuan adalah merupakan sasaran ideal yang hendak dicapai. Tugas pendidikan Islam adalah membentuk generasi yang berkualitas, yang mempunyai pengetahuan, akhlah dan keimanan kepada Allah dan wawasan yang luas serta mempunyai kemandirian dan tanggung jawab, tidak akan bisa diketahui tanpa adanya proses evaluasi.
Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku manusia didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek kehidupan mental psikologis dan spritualis religius, karena manusia hasil pendidikan Islam bukan saja sosok yang tidak hanya bersikap religius, melainkan juga ilmu dan berketerampilan yang sanggup dan berbakti kepada tuhan dan masyaraktnya.
Sasaran evaluasi pendidikan Islam secara garis besar meliputi empat kemampuan dasar manusia didik yaitu :
1. Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan pribadi dengan Tuhannya.
2. Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan dirinya dengan masysrakat
3. Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan dirinya dengan alam sekitar
4. Sikap dan pandangannya terhadap diri sendiri selaku hamba Allah dan selaku anggota masyarakat serta selaku khalifah dimuka bumi.
(Nur Uhbiyati:1997:143-144)
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 31-33 yang berbunyi:
                         •                             .


Artinya:
Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[35]."
Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" .(Q.S:2:31-33)
.(Al-Qur’an dan terjemah, Depag RI)

H. Metode Penelitian
Penelitian tentang Pendidikan Islam menurut Imam Al-Ghazali, merupakan penelitian yang semata-mata didasarkan pada penelitian kepustakaan (Lifrary research).
1. Sumber Data
a. Data primer adalah data-data yang diperoleh dari karya–karya tulis dari Imam Al-Ghazali tentang pendidikan Islam menurut pemikiran beliau.
b. Data Skunder diperoleh dari para tokoh pendidikan, yang berbicara tentang pendidikan, baik secara umum maupun khusus dari tokoh pendidikan barat maupun Islam yang menulis tentang pendidikan Islam menurut pemikiran Imam Al-Ghazali
2. Tehnik Pengumpulan Data
Langkah yang ditempuh untuk mengumpulkan data adalah dengan melakukan pengumpulan literatur melalui tulisan-tulisan Imam Al-Ghazali sendiri maupun tokoh pendidkan lainnya .
3. Tehnik Pengolahan data
Setelah data yang dibutuhkan telah terkumpul yaitu berupa buku-buku atau literatur yang berhubungan dengan judul yang akan diteliti, maka diadakan pengolahan, dengan tujuan agar data yang telah terkumpul mudah disajikan dalam susunan yang baik dan rapi, untuk kemudian baru dianalisis.
Dalam pengolahan data ini dapat dilakukan dengan cara :
1) Penyuntingan (Editing)
Semua data yang telah terkumpul diadakan pemeriksaan apakah terdapat kekeliruan atau data yang tidak lengkap, palsu.
Artinya dalam teknis ini penulis mengadakan pemeriksaan terhadap data-data yang sudah terkumpul yang kemudian kelompokkan mana data tersebut yang sesuai dengan penelitian penulis dengan tujuan agar mengetahui data tersebut asli atau tidak, sesuai dengan penelitian atau tidak .
2) Pengkodean (Coding)
Proses selanjutnya adalah memberikan tanda (Coding) dengan tujuan adalah untuk mengetahui mana data yang sama atau tidak.
Proses adalah dimana penulis memberikan kode atau tanda terhap data yang sudah terkumpul dan yang sudah di cek kesesuaiannya dengan judul penelitian
4. Tehnik Analisa Data
Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, selanjutnya diadakan klasifikasi dari beberapa bagian masih terpencar dalam berbagai tulisan baik data skunder, maupun data primer maka dilakukan penalaran dan pemikiran, kemudian disajikan dengan metode deskriptif analitis yang kemudian, disusun menjadi sebuah kesatuan yang utuh sebagai konsep pendidikan Islam yang baik bagus lugas juga mudah dipahami dan dimengerti.












BAB II
MENGENAL KEHIDUPAN AL-GHAZALI
A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali lahir pada tahun 1059 M/450 H Ghazzala, Thusia sebuah kota di Khurasan, Persia. Dan beliau juga wafat di Thusia pada tahun 1111M/505 M. Nama lengkap beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad AL-Gazzaly. Al-Ghazali terkenal sebagi sorang ahli fiqih (Hukum ), ahli kalam (Teologi ), pemikir yang original, ahli tasauf terkenal yang mendapat julukan “Hujjatul Islam (Pembela Islam).Selain dari itu Al-Ghazali lebih dikenal dengan sebutan (Panggilan) Al-Ghazali, sebab Al-Ghazali lahir di kota Ghazzala (Munawir Sjadzali:1993:70)
Ayahnya adalah tekenal orang yang sangat jujur, hidup dari usaha mandiri, bi ertenun kain bulu dan sering berkunjung pada rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada mereka. Ia sering berdo’a kepada Allah agar diberikan anak yang pandai dan berilmu .Akan tetapi belum menyaksikan jawaban Allah atas do’anya, beliau meninngal dunia pada saat putraidamannya dalam masih usia anak-anak.
(Drs. Zainuddin dkk:1991:7)
Abu Hamid mendapat pendidikan pertama kali yakni Thus, dibawah asuhan seorang pendidik dan ahli tasawuf, yakni sahabat karib ayahnya. Yang mana sebelum ayahnya meninggal duni sudah mewasiatkan /menyerahkan Abu Hamid padanya. Setelah mendapat amanah dari sang sahabat maka ,sang sufi pun membawa dan mengasuh sang imam ala kehidpan yang ia jalani dalam kesehariannya. Setelah harta peninggalan Abu Hamid,maka sang sahabat pun mengirim Abu Hamid kesalah satu madrasah yang ada ditempat tersebut.
Didalam madrasah, Al-Ghazali mempelajari ilmu Fiqih kepada Amad bin Muhammad Ar-Razikani dan mempelajari ilmu tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj, sampai pada usia 20 tahun.
Kemudian Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah ,yang akhinya ia bertemu dengan Imam Harmain, dan beliau mempelajari berbagai ilmu fiqih, mantiq, dan usul fiqih, selain itu juga mempelajari filsafat dari risalah-risalah Ihwanu Shofa karangan Al-Farabi, Ibnu Maska Waih. Sehingga dengan mempelajari ajaran –ajaran ahli filsafat itu, Al-Ghazali dapat menyelami dan paham-paham Aris toteles dan pemikir Yunani yang lain. Juga ajaran –ajaran Imam Syafi’i Harmalah, Jambab, Al-Muhasibi .(Ibid :8)
Dalam usia 28 tahun, Al-Ghazali telah menggemparkan kaum sarjana dan ulama dengan kecakapannya yang luar biasa .DiNaisabur ia telah menghidupkan paham Skeptisme yang dianut oleh para sarja Eropa pada masa berikutnya. Sejak kecil Al-Ghazali dikenal sebagai seorang anak yang pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita. Kemudian pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah Bagdad. Empat tahun lamanya Al-Ghazali mengajar pada lembaga kenamaan itu ,ia pun mashur dengan sebutan maha guru, sehingga beliau terhitung salah seorang ilmuan yang sangat disegani, dan ahli hukum yang dikagumi, baik dilingkungan Nizhamiyah, maupun pemerintah Bagdad .
Setelah lebih kurang dua bulan lebih lamanya beliau mengalami krisis rohani beliau meninggalkan kota Bagdad menuju Damaskus, Suria dan disana beliau hidup menyendiri, berkhalwat di Mean atau salah satu sudut Masjid Umayah. Disana beliau menyusun karya besarnya, yakni Ihya Ulumuddin dan karya –karya lainnya. Sekitar dua tahun di Damaskus, kemudian beliau menuju Baitul Haram (Haram) untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 489 H dan tinggal disana beberapa hari. (Ibid:30)
Setelah sekitar sepuluh hingga dua belas tahun dalam perantaunya di Damaskus ,Baitul Haram, Syam, Hijz, Bitul Maqdisdan Mesir, pada tahun 499 H /1106 M, beliau kembali ke Bagdad. Setelah kembali ke Khurasan dan mengajar di Madrasah Nizhamiyah Naisabur, namun itu tidak ber tahan lama disebabkan wafatnya Fakhul Mulk pada tahun 500 H /1107 M, beliau memutuskan untuk kembali ketanah kelahirannya di Thus dengan mendirikan Madrasah didekat rumahnya untuk mengajarkan fiqih dan tasawuf, sehingga bertepatan pada hari senin tanggal 14 jumaidil akhir tahun 505 H / 19 Desember 1111 M beliau wafat dan dikebumikan di pekuburan Thabran.ALGhazali meninggal kan tiga orang anak perempuan dan satu orang laki-laki bernama Hamid.
(Drs. Zainuddin dkk:1991:10)
B. Perkembangan Spiritual Imam Al-Ghazali
Menurut Dr. Sulaiman Dunya dalam bukunya Al-Haqiqat Pandangan Hidup Imam Al-Ghazali, bahwa kehidupan Imam Al-Ghazali dibagi menjadi tiga masa, yaitu:

1. Masa sebelum ragu
2. Masa ragu
3. Masa mendapat petunjuk dan tenang
Adapun masa sebelum ragu adalah masa dimana akal sedang berkembang dan berproduksi. Sebab masa itu Imam Al-Ghazali masih sedang belajar dan masih belum mencapai tingkat kematangan berpikir.Dalam masa ini Imam Al-Ghazali tidak ada ragu sedikitpun terhadap timbangan hakikat. Sebab, beliau pada saat itu memiliki akal, panca indra, dan nash secara lahiriyah.Dan msa pertama ini beliau mengandalkan otaknya dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Adapun masa tahap yang kedua adalah masa keraguan . Imam Al-Ghazali memberi komentar, bahwa keraguan yang dating dalam keadaan usia beliau masih muda. bahwa keraguannya dating dalam keadaan usia beliau masih muda. Dimana masa tersebut adalah masa yang sangat panjang. Karena dimulai dari usaha beliau hingga menjalankan tasawuf, dan mendapat petunjuk.
Imam Al-Ghazali menjelaskan dalam kitab Al-Munqidz mina Dholal, adalah masa beliau menyusun ilmu kalam, untuk mengkritik ahli falsafah dan kitab untuk mengkritik mazhab Syi’ah.Tidak sampai disitu Imam Al-Ghazali juga mengkritik untuk merobohkan falsafah. Akan tetapi, beliau memberikan peluang bagi suatu hal yang lain, yang akan didirikan diatas reruntuhan ini.
Yang cukup mengagumkan dari Imam Al-Ghazali adalah ketika beliau sedang mengalami keraguan dalam hakikat kebenaran, justru beliau melahirkan karya tulis yang positif tentang hakikat kebenaran dan memberikan pelajaran dengan cara yang positif. Keraguan Imam Al-Ghazali juga tertuju pada masalah ilahiyat; seperti tambahan sifat atau tidaknya.Masalah takdir apakah berlaku kepada seluruh makhluk yang ada dibumi ini .
Imam Al-Ghazali meski menderita keraguan, beliau masih menganggap akal adalah suatu hal yang sederhana yang bisa dibuat sebagai pegangan untuk mendapatkan ilmu yang sahih.Setelah berpindah dari satu aliran kepada aliran yang lain akhirnya menjatuh kan hatinya pada taswuf .
Dalam masa khalwat dan menyendiri Imam Al-Ghazali mendapatkan hakikat yang sejak dahulu beliau ingin mencapainya. Hingga akhirnya jiwanya mendapatkan sebuah ketenangan, dan kebingungannya telah lenyap.Sehingga beliau mengatakan bahwa jalan sufiyah adalah jalan yang paling tepat untuk menghilangkan kebingungan
(Sulaiman Dunya :2002:121 ).
C. Karya-karya Imam Al-Ghazali
Al-Ghazali adalah seorang pemikir Islam yang genius yang tingkat intelektualnya sangat tinggi. Dengan dibuktikan dengan banyaknya karya-karya beliau dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, antara lain: bidang filsafat, ilmu kalam, fiqih, usul fiqih, tafsir, tasawuf, akhlak, dan otobiografinya.
Dalam muqaddimah kitab “Ihya ‘Ulumuddin” , Dr. Badawi mengatakan Thabana, menulis karya-karya beliu sebanyak 47 kitab yang disusun menurut kelompok ilmu pengetahuan sebagai berikut:

1) Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam,yang meliputi :
1) Maqashid al Falasifah(Tujuan Para Filosof)
2) Tahaput al Falasifah(Kerancauan Para Filosof)
3) Al-Iqtishod fi al I’tiqad (Moderasi Dalam Aqidah)
4) Al-Munqid al-Dhalal (Pembebasan Dari Kesesatan)
5) Al-Maqashidul Asna fi Ma’ani AsmillahAl-Husna (Arti Nama-nama Tuhan Allah Yang Hasan)
6) Faishalut Tafriqah bainal Islam waz Zindiqah (Perbedaan antara Islam dan Zindiq)
7) Al-Qishasul Mustaqim (Jalan Untuk Mengatasi Perselisihan Pendapat)
8) Al-Mustadhiri (Penjelasan Penjelasan)
9) Hujjatul Haq (Argumen Yang Benar)
10) Mufsihul Khilaf fi Usuluddin (Memisahkan Perselisihan Dalam Usuluddin)
11) Al-Muntahal fi ‘Ilmil Jidal (Tata Cara Dalam Ilmu Diskusi)
12) Al-Madhnun bin ‘Ala Ghairi Ahlihi (Persangkaan Pada Bukan Ahlinya)
13) Mahkun Nadhlar (Metodologika )
14) Asraar ‘Ilmiddin (Rahasia Ilmu Agama)
15) Al-Arba’in fi Ushuluddin (40 Masalah Agama)
16) Iljamul Awwam ‘an ‘Ilmil Kalam (Menghalangi Orang Awwam Dari Ilmu Kalam)
17) Al-Qulul Jamil Fir Raddi ala man Ghayaral Injil (Kata Yang Baik Untuk Orang –orang Yang Mengubah Injil)
18) Mi’yarul’Ilmi (Timbangan Ilmu)
19) Al Intishar (Rahasia-rahasia Alam)
20) Isbatun Nadlar (Pemantan Logika)
2) Kelompok Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, yang meliputi :
1) Al-Basith (Pembahasan Yang Mendalam)
2) Al-Wasith (Perantara)
3) Al-Wajiz (Surat Surat Wasiat)
4) Khulashatul Mukhtashar (Inti Ringkasan Karangan)
5) Al Mustasyifa (Pilihan)
6) Al-Mankhul (Adat Kebiasaan)
7) Syifakhul ‘Alil fi Qiyas Was Ta’lil (Penyembuh Yang Baik Dalam qiyas Dan Ta’lil)
8) Az-dzari’ah ila Makarimis Syaria’ah (Jalan Kepada Kemulian Syari’ah)
3) Kelompok Ilmu Akhlak dan Tasawuf, yang meliputi :
1) Ihya ‘Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama)
2) Mizanul Amal (Timbangan Amal )
3) Kimiyaus Sa’adah (Kimia Kebahagian)
4) Miskatul Anwar (Relung –relung Cahaya )
5) Minhajul ‘Abidin(Pedoman Beribadah)
6) Ad-Dararul Fakhirah fi Kasyfi Ulumil Akhirah (Mutiara Penyingkap Ilmu Akhirat)
7) Al-‘Ainis fil Wahda (Lembut-lembut dalam Kesatuan)
8) Al-Qurbah Ilallahi Azza Wa Jalla (Mendekatkan Diri Kepada Allah)
9) Akhlah Al Abrar Wanajat mnal Asrar (Akhlak yang Luhur Menyelamatkan dari Keburukan)
10) Bidayatul Hidayah (Permulaan Mencapai Petunjuk)
11) Al-Mabadi wal Ghayyah (Permulaan dan Tujuan)
12) Talbis al-Iblis (Tipu daya Iblis)
13) Nasihat al-Mulk (Nasihat untuk Raja-raja)
14) Al-‘Ulum Al-Laduniyyah (Ilmu-ilmu Laduni)
15) Al-Risalah al-Qudsiyah (Risalah Suci)
16) Al-Ma’khadz (Tempat Pengambilan)
17) Al-Amali (Kemulian)
4) Kelompok Ilmu Tafsir yang meliputi :
1) Yaaquutut Ta’wil fi Tafsirit Tanzil (Metodologi Ta,wil di Dalam Tafsir Diturunkan):terdiri 40 jilid
2) Jawahir Al-Qur’an (Rahasia yang Terkandung Dalam Al-Qur’an)
Dari karya –karya Imam Ghazali diatas yang berkaitan dengan pendidikan diantaranya adalah terdapat pada Kelompok Ilmu Akhlak dan Tasawuf yaitu buku yang berjudul Ihya ‘Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama) yang terdapat pada Bab I( Hal-1-19)
Demikian lah karya –karya besar Imam Ghazali yang dapat menggemparkan dunia ,yang banyak dibuat orang dalam mengambil referensi dalam pembuatan karya –karya ilmiah diberbagai lembaga pendidikan yang ada di penjuru dunia.(Drs. Zainuddin dkk:1991:19-21)
BAB III
PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

A. Konsep Imam Al-Ghazali Tentang Pendidikan Islam( Faktor-faktor Pendidikan )
Untuk mengetahui konsep pendidikan Islam Al-Ghazali dapat diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu aspek tujuan pendidikan, kurikulum, metode, pendidik, peserta didik, evaluasi, berikut ini:
a. Tujuan
Tujuan pendidikan Al-Ghazali pada hakikatnya adalah “bagaimana seeorang itu bisa mendekatkan diri kepada Allah”, yakni sesuai dengan yang terdapat dalam Al-Qur’an surat AZ-Dzariat 56 Allah berfirman :
      
Artinya :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S:51:56).(Al-Qur’an dan terjemah, Depag RI)
Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Rumusan tujuan pendidikan baru terealisasi dalam sebuah kegiatan, bila ia memahami secara benar filsafat yang mendasarinya.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 201 Allah menjelaskan
 •            • 
Artinya :
Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka (Q.S:02:201).(Al-Qur’an dan terjemah, Depag RI)

Dalam Ihya Ulumuddin Al-Ghazali merumuskan tentang tujuan pendidikan ada tiga yaitu:
1) Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu saja.
Al-Ghazalimengatakan:
“Apabila engkau mengadakan penyelidikan /penalaran terhadap ilmupengetahuan, maka engkau akan melihat kelezatan padanya, oleh karena itu mempelajari ilmu pengetahuan adalah karena ilmu pengetahuan itu sendiri” (Al-Ghazali, Juz I:13 )
Dari perkataan tersebut jelas bahwa Al-Ghazali mencurahkan tenaga dan pikirannya terhadap ilmu pengetahuan yang mengandung kelezatan intelektual dan spiritual yang akan menumbuhkan roh ilmiah, sehingga
Al-Ghazali, sangat menganjurkan kepada pencari ilmu agar menjadi orang yang cerdas, pandai berpikir, dapat menggunakan akal secara optimal agar dapat menguasai pengetahuan itu tersebut.
2) Tujuan utama pendidikan adalah pembentuk akhlak
Al-Ghazali mengatakan :
“Tujuan murid mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang, adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya”.
Pendapat Al-Ghazali tersebut juga didukung oleh Prof. Dr. M. Athiyah
Al Abrasyi:
“Pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan islam (pendidikan yang dikembangkan oleh kaum muslimin) dan islam telah menimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan islam .Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan.”
Dari peryataan diatas, dengan jelas menerangkan bahwa Al-Ghazali menghendaki keluhuran rohani, keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan kepribadian yang kuat, merupakan tujuan dari pendidikan bagi kalangan manusia muslim, karena akhlak adalah asfek fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun suatu Negara.
3) Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagian dunia dan akhiraat.
Al-Ghazali mengatakan :
“Dan sungguhnya engkau mengetahui bahwa hasil pengetahuan adalah mendekatkan diri kepada Tuhan pencipta alam, menghubungkan diri dan berhampiran dengan ketinggian malaikat, demikian itu diakhirat.Adapun didunia adalah kemuliaan, kebesaran, pengaruh pemerintahan, bagi pinpinan Negara dan penghormatan menurut kebiasaanya.”
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa Al-Ghazali sangat memperthatikan kehidupan dunia dan akhirat sekaligus, sehingga tercipta kebahagian bersama didunia dan akhirat . Selain itu juga Al-Ghazali mengatakan, soerang muslim tidak boleh hanya memandang satu sisi saja dunia atau akhirat saja, tetapi haruslah memperhatikan keduanya . Jadi menurut Al-Ghazali ruang lingkup pendidikan yang diharapkan bagi masyarakat muslim pada khususnya, tidak sempit dan tidak terbatas bagi kehidupan dunia atau akhirat saja, akan tetapi harus mencakup kebahagian dunia dan akhirat.
Berangkat dari penjelasan tersebut Al-Ghazali merumuskan tujuan pendidikan Islam kepada tiga aspek yaitu:
a) Aspek keilmuan, yang mengantarkan agar senang berpikir, menggalakkan penelitian, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, menjadi manusia yang cerdas dan terampil.
b) Aspek kerohanian, yang mengantarkan manusia agar berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur dan teampil dan berkepribadian kuat.
Aspek ketuhanan, yang mengantarkan manusia beragama mendapat agar dapat mencapai kebahagian dunia dan akhirat. (Al-Ghazali, Juz I:14 )
Dari rumusan tujuan pendidikan diatas dapat diambil sebuah pemahaman bahwa tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali adalah :”Tujuan pendidikan Islam adalah menyiapkan generasi -generasi yang cakap melakukan pekerjaan dunia dan amalan akhirat, sehingga terciptanya kebahagiaan bersama dunia akhirat”. Tujuan pendidikaan tersebut senada dengan tujuan pendidikan Indonesia yang terdapat dalam UU SIKDIKNAS Nomor 20 tahun 2003 adalah: “Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Zainuddin dkk:1991 :43-49).
Hal yang senada juga terdapat dalam buku “Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam” oleh Abuddin Nata yaitu tujuan akhir dari pendidikan menurut Al-Ghazali adalah :
• Kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
• Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat .
b. Kurikulum
Berbicara tentang kurikulum dalam konsep pendidikan Al-Ghazali terkait dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan . Al-Ghazali sangat intens dalam membahas tentang ilmu. Menurutnya, ilmu dan amal merupakan satu mata rantai ibarat setali mata uang yang dengannya manusia dapat selamat ataupun binasa. Dengan ilmu dan amal pula diciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. “Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya agar kamu mengetahui sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah meliputi segala sesuatu”. (QS Ath-Thalaq : 12).
        •    •      •       

Artinya :
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”(Q.S:30:30).(Al-Qur’an dan terjemah, Depag RI)
Dalam hal tersebut Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan kepada tiga bagian yaitu:
1. Ilmu –ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu –ilmu pengetahuan yang tidak ada manfaatnya, baik dunia maupun akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum, dan ilmu ramalan Dalam pandangannya Al-Ghazali menilai ilmu tersebut tercela karena ilmu-ilmu tersebut terkadang menimbulkan mudharat (kesusahan).
2. Ilmu- ilmu terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa seta ilmu yang menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya, ilmu yang mengajarkan manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada kepada Allah dan melakukan suatu yang diridhainya, serta dapat membekali hidunya di akhirat.
3. Ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit dan tercela jika dipelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya secara mendalam dapat menyebabkan terjadinya kekacauan dan kesemrautan antara keyakinan dan keraguan, serta dapat membawa kekafiran, seperti ilmu filsafat.Namun mengenai illmu filsafat Al-Ghazali membagi menjadi ilmu matematika,ilmu logika, ilmu ilahiyat, ilmu fisika, ilmu politik dan ilmu etika(Abuddin Nata:2003:88-90 ).
Melihat dari klasipikasi ilmu yang diberikan Al-Ghazali, bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu agama dengan segala cabangnya. Sehingga dalam menyusun kurikulum pelajaran Al-Ghazali memberikan perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika.Tetapi juga tidak meninggalkan ilmu yang menanamkan keahlian, namun memberikan ketentuan sesuai dengan kebutuhan.

c. Metode
Mengingat pendidikan sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid, Al-Ghazali dalam tulisan-tulisannya banyak mengulas tentang hubungan yang mengikat antara keduanya. Menurutnya hubungan antara guru dan murid sangat menentukan keberhasilan sebuah pendidikan selain akan memberikan rasa tenteram bagi murid terhadap gurunya.
Pekerjaan mengajar dalam pandangan Al-Ghazali adalah pekerjaan yang paling mulia sekaligus sebagai tugas yang paling agung. Seperti dikemukakannya : “Makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian tubuh yang paling berharga adalah hatinya”. Adapun guru adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyepurnakan serta menyucikan hati, hingga hati itu menjadi dekat kepada Allah SWT (Abuddin Nata:2003:94 ).
Oleh karena itu, mengajarkan ilmu pengetahuan dapat dilihat dari dua sudut pandang, pertama ia mengajarkan ilmu pengetahuan sebagai bentuk ibadah kepada Allah, dan kedua menunaikan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Dikatakan khalifah Allah, karena Allah telah membukakan hati seorang ‘alim dengan ilmu, yang mana dengan itu pula seorang ‘alim menampilkan identitasnya. Kiranya tidak ada lagi martabat yang lebih tinggi selain sebagai perantara antara hamba dengan makhluk-Nya. Dalam mendekatkan diri kepada Allah, menggiringnya kepada surga tempat tinggal abadi.
Al-Ghazali menganjurkan agar seorang guru bertindak sebagai seorang ayah dari seorang muridnya. Bahkan dalam pandangannya hak guru atas muridnya lebih besar dibandingkan hak orang tua terhadap anaknya. Ayah adalah sebab dari lahirnya wujud yang fana, sedangkan guru merupakan sebab bagi lahirnya wujud yang abadi.
Karena guru menunjukkan jalan yang dapat mendekatkannya kepada Allah baik guru agama maupun guru umum. Kesucian hati seorang guru juga menjadi prioritas utama, karena seorang guru bagi murid ibarat bayangan kayu. Bayangan tidak mungkin lurus bila kayunya bengkok.
Prinsip metodologi pendidik modern selalu menunjukkan aspek berganda. Satu aspek menunjukkan proses anak belajar dan aspek menunjukkan guru mengajar dan mendidik. Tidak itu saja bahkan berbeda orangnya maka berbeda pula metode yang digunakan dan yang dimunculkannya (Abuddin Nata:2003:94 ).
Tidak terlepas dari itu sebagai tokoh pendidikan Islam, Al-Ghazali pun mempunyai metode tersendiri dalam menyampaikan pelajaran kepada anak didiknya. Perhatian Al-Ghazali tentang metode ini lebih ditujukan pada metode khusus bagi pelajaran agama untuk anak-anak.
Filosof besar ini menangatakan perlunya memilih metode yang tepat dan sejalan dengan sasaran pendidikan. Oleh karena itu, al-Ghazali membagi ilmu dalam beberapa himpunan, bagian-bagian, dan cabang-cabangnya. Berdasarkan hadis Nabi saw., “Sampaikan ilmu sesuai dengan kadar kemampuan akal”, Al-Ghazali menganjurkan agar filsafat atau ilmu lainnya diberikan sesuai dengan tabiatnya, sesuai dengan kemampuan dan kesiapan manusia. Tidak seperti “memberi daging kepada anak kecil
Adapun metode yang diguanakan oleh Al-Ghazali adalah metode keteladanan bagi mental anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifata-sifat pada diri mereka. Maksudnya adalah memberikan contoh secara perbuatan. Hal tersebut sesuai dengan prinsif-prinsif guru yang baik.
Unuk melakukan hal tersebut Al-Ghazali memberikan asas-asas metode dalam mengajar dan mendidik yang sangat perlu diperhatikan oleh seorang guru dalam mengajar, yaitu:
a) Memperhatikan daya pikir anak
Al-Ghazali mengatakan :”Seorang guru hendaklah dapat memperkirakan daya pemahaman muridnya dan jangan diberikan pelajaran yang belum sampai akal pikirannya, sehingga ia akan lari pelajaran atau tumpul otaknya” (zainuddin dkk:1991:78)

Maksudnya adalah seorang guru harus lah paham dan tahu mana murid yang cerdas dan lemah pemahamannya dan yang mudah menangkap pelajaran serta kemampuan murid dalam menerima pelajaran yang disampaikan juga mana pelajaran yang pas dan cocok untuk diajarkan sesuai dengan kondisi dan daya pikir anak tersebut
Hal tersebut perlu diperhatikan agar pelajaran yang disampaikan tersebut bisa dipamami anak tersebut, dicerna serta diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga membawa manfaat dalam dirinya.
b) Menerangkan pelajaran dengan sejelas-jelasnya
“Seorang anak yang masih rendah tingkat berpikirnya, hendaklah diberikan pelajaran dengan keterangan yang jelas dan pantas baginya. Dan janganlah disebutkan padanya bahwa dibalik keterangan ini masih ada keterangan atau pembahasan yang lebih mendalam yang tidak disampaikan padanya “
Maksudnya adalah sorang guru dalam memberikan penjelasan ketika menyampaikan pelajaran haruslah dengan penjelasan yang jelas dan terperinci tanpa ada yang disembunikan dari nya. Hal tersebut sangat diperlukan sebab setiap anak yang didik itu berbeda kecerdasannya dan pemahannya .Selain itu untuk menghindarkan kesalahan dalam mengamalkan pelajaran yang telah dipelajarinya.
c) Mengajarkan ilmu pengetahuan dari yangkongkrit kepada yang abstrak
“Seorang guru jangan lah meninggalkan nasehat sedikitpun, yang demikian ituadalah melarangnya mempelajari ilmu pengetahuan pada tingkat sebelum berhak pada tinggkat itu, dan mempelajari ilmu pengetahuan yang tersembunyi (abstrak) sebelum menguasai ilmu yang kongkrit.
Maksudnya adalah dalam mengajarkan ilmu pengetahuan harus lah dimulai dari ilmu yang kongkrit baru menuju ilmu yang abstrak. Atau dimulai dari pelajaran yang mudah baru menuju pelajaran yang sulit, umum kepada yang khusus, global ke yang terperinci, dari yang dasar kepada yanga bercabang .
Hal tersebut dilakukan adalah untuk menghindarkan ketidak pahaman anak dalam memahami pelajaran yang dipelajarinya, dan menghindari mendangkal nya otak dan melemahkan pikirannya serta mengaburkan pemahamannya.
d) Mengajarkan ilmu dengan cara ber angsur-angsur
“Seorang guru yang mengajar satu pak pelajaran hendaklah memberikan kesempatan pada murid-muridnya utuk mempelajari pelajaran yang lainnya. Dan apabila guru mengajar beberapa ak pelajaran, maka hendaknya ia memelihara kemajuan muridnya dengan cara berangsur-angsur dan setingkat demi setinggkat.”
Maksudnya adalah seorang guru dalam mengajar harus memperhatikan kemampuan pemikiran dan kesediaan muridnya dalam menerima pelajaran serta dalam memerikan pelajaran tersebut dengan cara berangsur-angsur bukan sekaligus dengan memperhatikan hal tersebut.

e) Memberikan latihan-latihan
Akhir dari segala proses pembelajaran yang diberikan oleh guru dalam mengajar adalah memberikan latihan kepada muridnya. Hal tersebut bertujuan adalah untuk mengetahui tingkat kemampuan dan pemahaman pelajaran yang diampaikan. Latihan tersebut bisa berupa dengan pertanyaan dan pengamalan tulisan dan non tulisan
f) Melindungi anak dari pergaulan bebas(buruk).
Pokok dari pendidikan adalah menjaga dan melindungi anak daripergaulan-pergaulan yang buruk. Sehingga Al-Ghazali memberikan perhatian besar tentang pergaulan anak-anak sebab sangat mempunyai pengaruh yang sangat doniman perkembangan anak.
Oleh karena itu seorang guru harus bisa mengontrol pergaulan anak-anak didiknya agar terhindar dari pergaulan yang buruk.
g) Memberikan pengertian dan nasihat-nasihat
Nasehat perlu diberikan kepada siswa dengan tujuan agar mereka bisa berjalan sesua dengan tuntunan agama, dan menghindar kan dari kenakanlan dan maksiat. Selain itu adalah untuk memperteguh keyakinannya kepa Allah ta’ala dan apa yang dipelajarinya.
Dengan demikian metodelogi pengajaran dan pendidikan sangat diperlukan baik dewsa ini juga, agar pendidikan anak tersebut terarah dan membuahkan hasil yang diinginkan sesuai dengan tujuan pendidikan (zainuddin dkk:1991:80-82)

d. Pendidik
Berbicara tentang pendidik Al-Ghazali menggunakan istilah pendidik dengan berbagai kata seperti, al-Mu’allim (guru), al-Mudarris (pengajar),
al-Muaddib ( pendidik ) dan al-Walid (orang tua).
Pendidik adalah orang yang diberi tugas untuk memberikan pengetahuann kepada peserta didik agar menjadi orang berilmu pengetahuan dan ber akhlak mulia serta bertanggung jawab. Oleh karena itu Al-Ghazali memberikan ketentuan bahwa seorang pendidik itu adalah orang yang cerdas dan sempurna akalnya, juga yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya.
Selain dari itu seorang guru /pendidik haruslah memiliki sifat-sifat seperti :
1) Harus mempunyai sifat kasih sayang.
Sifat ini sangat penting bagi seorang pendidik sebab dengan sifat tersebut dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa tentram pada diri murid terhadap gurunya. Hasilnya dapat menciptakan situasi yang mendorong murid untuk menguasai ilmu yang diajkarkan oleh seorang guru.
Selain dari itu seorang pendidik juga harus bisa menjadi pengganti orang tua anak didiknya, yakni mencintai anak didiknya seperti anaknya sendiri.Sehingga hubungan antara guru dengan anak didiknya, seperti hubungan naluriah antara orang tua dengan anaknya menjadi harmonis dan akan mempunyai pengaruh yang positif terhadap perkembangan dan dan pendidikannya, dan menjauhi perkataan yang kotor, perkataan yang kasar, muka masam, dan lain yang akan menggagu pemikirannya dalam belajar (Zainuddin dkk:1991 : 61).
2) Ikhlas
Menurut Al-Ghazali seorang guru atau pendidik adalah orang yang mempunyai keikhlasan yang tingi serta kesabaran. Sehingga seorang pendidik dalam memberikan pelajaran terhadap anak didiknya tidak boleh menuntut upah atas apa yang ia ajarkan terhadap anak didiknya.dan seogianya seorang pendidikan meniru Rasulullah SAW, mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar tersebut dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Demikian pula dengan seorang guru atau pendidik tidak dibenarkan minta dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterimakasih kepada muridnya atau memberikan imbalan kepada muridnya apabila berhasil membina mentalnya (Abuddin Nata:2003:96 ).
3) Menjadi teladan bagi anak didik
Al-Ghazali mengatakan “Seorang guru mengamalkan ilmunya, dan menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati. Sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepala lebih banyak”.
Dari perkatan Al-Ghazali tersebut seorang pendidik tidak hanya pandai berbicara dihadapan anak didiknya tetapi harus bisa memberikan contoh pada anak didiknya.

4) Menjadi pengarah bagi anak didik
Selain dari contoh teladan bagi anak didik sorang pendidik harus bisa menjadi pengarah bagi anak didiknya. Dan seorang pendidik tidak boleh membiarkan anak didiknya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi, sebelum ia menguasai pelajaran yang sebelumnya. Serta tidak boleh membiarkan muridnya lalai kepada Allah .
5) Bersikap lemah lembut
Dalam kegiatan mengajar hendaknya seorang guru bersikap lemah lembut dan mempunyai cara –cara yang simpatik dan halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian dan makian. Selain itu seorang guru juga tidak boleh mengekspos atau menyebarluaskan kesalahan atau aib seorang murid pada tempat umum, karena itu dapat menyebabkan jiwa anak akan keras, membangkan dan menentang gurunya. Dan akan mengakibatkan proses pembelajaran tidak akan terlaksana dengan baik.
6) Dapat memahami kondisi anak didik (potensi)
Setiap murid pasti mempunyai latar belakang keluarga yang berbeda, begitu juga dengan kemampuan yang dimilikinya antara murid yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu seorang guru haruslah bisa memahami perbedaan tersebut, dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat kemampuan yang dimilikinya. Sehingga Al-Ghazali menganjurkan memberikan batasan pelajaran yang diberikan sesuai dengan batas kemampuan dan pemahaman muridnya. Dan tidak memberikan pelajaran diluar kemampuan dan pemahamannya.
7) Memahami Psikologis Anak
Perbedaan usia akan mepengaruhi tingkat kemampuan, kecerdasan dan bakat seorang murid. Oleh karena itu seorang guru haruslah bisa memahami kecerdasan, bakat, tabi’at serta kejiwaan muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya. Sehingga memudahkan bagi guru dalam memberikan pelajaran yang sesuai pada muridnya
8) Istikomah konsiten dengan apa yang diucapkan
Seorang guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh pada apa yang di ucapkanya, serta berupaya merealisasikannya dalam kehidupannya. Sehingga Al-Ghazali mengingatkan seorang guru jangan sekali-kali melakukan sesuatu perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang diucapkanya. Sebab bila seorang guru melakukan hal tersebut akan menghilangkan wibawanya sebagai seorang guru
(Abuddin Nata:2003:97-98).
9) Menghormati kode etik guru
Al-Ghazali mengatakan :“Seorang guru yang memegang satu mata pelajaran sebaiknya jangan menjelek-jelekkan mata pelajaran lainnya dihadapan murid-muridnya.”
Maksud ucapan Al-Ghazali adalah sorang guru tidak boleh mengejek mata pelajaran yang guru lain ajarkan dalam satu majelis tersebut walaupun guru tesebut tidak senang dengan mata pelajaran tersebut
(Zainuddin dkk:1991 : 62).

10) Tidak boleh menuntut upah
Karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajarnya itu. Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW. yang mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat bertaqarrub kepada Allah. Demikian pula seorang guru tidak dibenarkan minta dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterima kasih kepada muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina mental dan jiwa (Zainuddin dkk:1991 : 54-55).



e. Peserta didik
Berbicara tentang Anak didik Al-Ghazali menggunakan istilah anak dengan beberapa kata seperti dengan kata al-shoby (Kanak-kanak),
al-Mutaallim (Pelajar), dan Thalabul Ilmi(Penuntut Ilmu Pengetahuan).Oleh karena itu istilah anak didik dapat diartikan ; anak yang sedang mengalami perkembangan jasmani dan rohani sejak awal terciptanya dan merupakan objek utama dalam pendidikan (Zainuddin dkk:1991 : 64)
Selain dari itu Peserta didik juga dapat diartikan adalah orang yang menjalani pendidikan dan untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu kesempurnaan insani dengan mendekatkan diri pada Allah dan kebahagian didunia dan diakhirat maka jalan untuk mencapainya diperlukan belajar dan belajar itu juga termasuk ibadah, juga suatu keharusan bagi peserta didik untuk menjahui sifat-sifat dan hal-hal yang tercela, jadi peserta didik yang baik adalah peserta didik yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1) Peserta didik harus bersikap rendah hati dan tidak takabbur dan menjahui sifat-sifat yang hina (bersih jiwanya )
Al-Ghazali mengatakan kebersihan yang dimaksud adalah kebersihan hati. Sebab bila hati tidak bersih maka ilmu yang sedang dipelajari tidak akan bisa masuk dan bermanfaat bagi simurid.
2) Peserta didik harus menjauhkan dari persoalan –persoalan duniawi .
Al-Ghazali mengatakan soerang murid yang sedang belajar haruslah mengurangi ketertarikannya terhadap dunia dan masalah-masalah yang mengganggu proses belajar. Hal tersebut sesuai dengan ucapan Al-Ghazali “Ilmu tidak akan memberikan sebagian darinya kepadamu sebelum kamu memberikan seluruh dirimu kepadanya”
3). Peserta didik hendaknya bersikap rendah hati (tidak sombong).
Sifat rendah hati atau tawadhu’ adalah sifat yang sangat ditekan oleh
Al-Ghazali kepada seorang murid yang sedang mencari ilmu. Al-Ghazali juga menekankan kepada seorang murid yang sedang belajar agar tidak boleh bersikap lebih dari gurunya ,sehingga tidak mau menyerah kan segala persoalan ilmu pada gurunya dan tidak mau mendengarkan nasehat gurunya.
Pada hal murid yang baik adalah murit yang menyerahkan permasalahn ilmu kepada gurunya dan mendengarkan nasehat gurunya, laksana seorang pasien yang mendengarkan arahan dokternya.
4) Peserta didik hendaknya jangan mempelajari ilmu-ilmu yang saling berlawanan, atau pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan .
Dimaksud ilmu yang saling bertentangan adalah sorang murid yang baru tahab belajar hendaknya jangan mempelajari aliran –aliran yang berbeda, atau ikut dalam berbagai perdebatan yang membingingkan. Karna hal tersebut akan membingungkan pemahaman anak didik terhadap ilmu yang sedang dipelajarinya.
5) Peserta didik tidak hanya mempelajari yang wajib
Seorang pelajar harus mendahulukan mempelajari ilmu pengetahuan yang wajid dari pada yang lain. Seperti mepelajari alqur’an misalnya lebih uatama dari pada yang lain, sebab ia menyang kut dengan ibadah yang lain seperti sholat.
6) Peserta didik hendaknya mempelajari ilmu pengetahuan secara bertahap
Seorang murid menurut Al-Ghazali dalam mempelajari ilmu pengetahuan adalah dengan cara bertahap. Yakni tidak mempelajari satu ilmu pengtahuan secara sekaligus tetapi harus mempelajari ilmu tersebut secara bertahap sesuai dengan urutan, serta memulai mempelajari ilmu-ilmu agama terlebih dahulu baru pada mempelajari ilmu yang lain karna itulah yang lebih utama. Dan jangan sekali- kali mempelajari satu ilmu dari yang besar ke yang kecil, yang khusus ke yang umum sunah ke wajib dan susah ke yang mudah tapi malah harus sebaliknya (Al-Ghazali:2007:12-14).
7) Peserta didik hendaknya tidak mempelajari satu disiplin ilmu sebelum menguasai nya
Maksudnya adalah seorang murid yang sedang belajar sebelum memahami ilmu yang satu jangan berpindah kepada mempelajari ilmu yang lain. Atau sebelum waktunya mempelajari ilmu pengetahuan tersebut tidak mempelajarinya artinya anak kelas satu jangan sekali- kali mempelajari pelajaran kelas empat dan seterusnya.
8) Peserta didik hendaknya juga mengenal nilai setiap ilmu yangdipelajarinya
Menurut Al-Ghazali setiap ilmu itu memiliki kelebihan masing-masing serta hasil-hasilnya yang mungkin dicapai hendaknya dipelajari dengan baik. (Abuddin Nata:2003:99-101)
f. Evaluasi
Adapun tentang masalah evaluasi Al-Ghazali mengatakan, bahwa evaluasi dilakukan adalah untuk mengetahui sejauh mana anak dapat memahami dan mengamalkan apa yang ia pelajari. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan Allah tehadap makhluk ciptaannya, yakni memberika evaluasi berupa ujian dan cobaan, dengan tujuan untuk mengetahuai apakah hamba tersebut benar benar beriman kepada Allah dalam setiap keadaan. Sebagai mana firman Allah dalam Al-Qur’an surah An-Naml ayat 27 yang berbunyi:
        
Artinya :
Berkata Sulaiman: "Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta”.(Q.S:27:27).(Al-Qur’an dan terjemah, Depag RI)
Al-Ghazali lebih lanjut beliau mengatakan bila evaluasi harus dilasanakan, sesuai dengan pelajaran yang telah disampaikan oleh sang guru, baik dengan cara lisan atau pun tulisan. Sebagai mana yang Allah lakukan pada nabi Adam yang mengajarkan nama-nama benda, yang kemudian Allah evaluasiyang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 31-32 yang berbunyi:

          
             
•    
Artinya:
“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"”
“Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S:2:31-32)
(Al-Qur’an dan terjemah, Depag RI).
Dalam hal ini Al-Ghazali memahami tentang evaluasi adalah bagai mana sikap seorang hamba terhadap apa yang Allah berikan kepadanya termasuk ujian dan cobaan, terhadap apa yang telah ia pelajari dari ayat-ayat Allah apakah ia paham atau tidak, sabar atau tidak.
Selain dari itu dalam mengevaluasi yang paling utama adalah mengevaluasi sipritualnya bukan hanya kemampuan akalnya saja. Dengan tujuan agar terdapat keseimbangan antara teori dan prakteknya, yang akhirnya tercapai tujuan pendidikan yang diinginkan sesuai dengan yang Allah inginkan dan bang sa Indonesia yakni cerdas secara IQ tapi juga cerdas secara Emosional Spritualnya (H. Ahmad Syar’i:2005:88-89)









BAB IV
ANALISA

A. Ciri Khas Konsep Pendidikan Islam Al-Ghazali
Al-Ghazali, sebagaimana para pemikir Islam lainya, dan tidak seperti pemikir barat, Al-Ghazali mempunyai kekhasan dalam pemikiran pendidikannya, yaitu pemikiran yang yang menyandarkan segalanya kepada konsepAl-Qur’an dan Hadits, baik secara tujuan, kurikulum, metode tinjauannya terhadap pendidik, anak didik, dan evaluasi, sesuai dengan apa yang diungkapkan pada bab III .
Namun bila kita teliti lebih jauh tentang pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan khususnya dipandang dari segi Faktor-faktor pendidikan, pemikiran atau konsep pendidikan Islam Al-Ghazali, lebih menekankan pada pentingnya kebersihan hati dalam mencari ilmu pengetahuan (belajar mengajar). Artinya adalah beliau mengatakan seorang pendidik dan orang yang sedang mencari ilmu pengetahuan, bila tidak membersihkan hatinya terlebih dahulu maka mustahil ilmu pengetahuan tersebutakan dapat dikuasai artinya tidak ada hasilnya bagi sipendidik dan peserta didik. Sebab ilmu itu adalah nur (Cahaya), dan tidak akan masuk kepada hati orang yang kotor, hal tersebut sesuai dengan tujun pendidikan yang beliau kemukakan yakni bahagia dunia dan akhirat.
(Abuddin Nata :2003:99).
Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan dalam konsepnya, selain dalam membersihkan hati seorang pengajar dan pencari ilmu pengetahuan harus mempunyai niat yang ikhlas karena Allah, dan mempunyai tujuan yang jelas yakni mendekatkan diri kepada Allah. Semua itu terlihat pada apa yang telah dikemukakan Al-Ghazali pada konsepnya tentang: tujuan pendidikan, metode, peserta didik, pendidik, nevaluasi.
Dalam konsep pendidikannya Al-Ghazali menganjurkan kepada peserta didik yang sedang belajar ilmu pengetahuan jangan lah membatasi dirinya dengan satu disiplin imu saja tetapi, peserta didik haruslah mempunyai sipat yang rakus terhadap berbagai disiplin ilmu. Namun yang perlu diperhatikan menurut beliau adalah dalam mempelajari setiap bidang imu pengetahuan janganlah berpindah dari satu tingkatan ketingkatan yang lain, atau dari satu ilmu keilmu yang lain sebelum menguasai bidang ilmu tersebut, serta jangan sekalikali mempelajari satu disiplin ilmu yang belum seharunya ia pelajariartinya yang belum tingkatannya, karna bila itu terjadi sama halnya memberi pisau pada anak kecil. Dalam melaksanakan proses pembelajaran seorang pendidik menurut Al-Ghazali haruslah bisa memilah –milah mana pelajaran yang bermanfaat untuk anak didik mana yang tidak, serta mana yang dapat membawa anak didik kerah yang baik yakni mengenal tuhannya dengan benar dan mana yang mengarah kan anak didik jauh dari Allah.
Dengan demikian Al-Ghazali mengatakan kurikulum yang harus diterapkan dalam proses pembelajaran adalah kurikulum harus lebih memperhatikan pada ilmu-ilmu agama dan etika. Selain itu Al-Ghazali menekankan penerapan nilai-nilai budaya dan tidak menekankan ilmu yang berbau seni atau keindahan
Walaupun demikian Al-Ghazali tidak melarang pada seseorang untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum, namun Al-Ghazali tidak mewajibkan nya untuk dipelajari, karna ilmu tersebut hanya bersipat pardhu kipayah. (Zainuddin dkk:1991 : 35)
Menurut Al-Ghazali seorang pendidik dan peserta didik dalam mengajarkan dan mempelajari ilmu pengetahuan, harus lah mempunyai tujuan yang jelas yakni mengantarkan seorang peserta dididik menjadi orang mengenal Allah dengan baik dan benar serta mengajarkan bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dan peserta didik pun haruslah berusaha memahami dan mengamalkan apa yang telah disampaikan oleh sang guru tersebut.
Oleh karena itu Pendidik yang baik menurut Al-Ghazali adalah pendidik yang memberikan pelajaran kepada anak didiknya ilmu yang menghantarkan anak didik tersebut mencapai kebahagian dunia dan akhirat, serta memberikan ilmu pengetahuan seuai dengan tingkatan dan kemampuan anak didik tersebut, baik dari segi usia dan kempuannya dalam memahami pelajaran yang ia pelajari.
Begitu juga sebaliknya peserta didik yang baik adalah pesereta didik yang mempelajari ilmu pengetahuan, mempunyai sipat kesabaran yang tinggi, keikhlasan, tamak dan kepatuhan yang tingi pula, sebab menurut beliau seorang peserta didik yang tidak mempunyai rasa sabar, patuh, ikhlas dan tamak yang tinggi, maka mustahil ia akan mendapatkan dan memahami ilmu yang sedang ia pelajari, serta tidak akan medapat keberkahan dari Allah serta dapat menyeimbangkan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Namun dalam konsepnya tentang guru atau pendidik Al-Ghazali mengemukakan bahwa seorang guru tidak boleh meminta upah, melainkan menerima apa yang diberikan orang dengan ikhlas tanpa mengharapkan apapun kecuali keridhoaan Allah . Konsep tersebut untuk jaman sekarang ini tidak lagi relepan untuk diterapkan sebab seorang guru sekarang sudah diberikan upah atau diukur sesuai dengan kompetensi yang ia miliki. Artinya semakin berkompeten dan propesianal seseorang tersebut semakin besar ia dapatkan baik secara material atau pun non material(Ibid :1991 : 54-55).

Adapun metode yang dianjurkan Al-Ghazali adalah metode keteladanan, latihan ,nasehat, mengajarkan ilmu secara bertahap dan memperhatikan kondisi anak. Sedangkan masalah evaluasi Al-Ghazali mengatakan dalam konsepnya bahwa evaluasi dalam pendidikan Islam bukan lah hanya untuk menguji koknitip dan afektif, saja seperti yang banyak dilakukan oleh lembga pendidikan yang sedang berkembang diberbagai dunia baik Indonesia tetapi juga dibidang psikomotorik. Lebih jauh lagi beliau mengatakan bahwa tujuan evaluasi adalah untuk mengetahuai pemahaman anak terhadap pelajarany yang disampaikan oleh pendidik, serta untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan yakni menjadi peserta didik yang cerdas inteligensinya juga spiritual nya (Imam Al-Ghazali:2007:11-12)
Melihat dari konsep pendidikan Islam yang di kemuka kan Al-Ghazali, yang ditinjau dari faktor-faktor pendidikan, bila merujuk kepada era sekarang ada beberahal yang masih relepan untuk di terapkan dan ada juga yang tidak seperti konsepnya pendidikannya tentang tujuan yakni harus mampu menciptakan manusia yang cerdas secara jasmani dan rohani, serta dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat sesuai dengan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, metode, kurikulum, pendidik, pendidik.
Dengan melihat konsep pendidikan yang di kemukakan Al-Ghazali pada bab III diatas membuktikan dengan jelas bahwa Al-Ghazali, bukan lah orang yang mendikotomikan ilmu pengetahuan melainkan dalam konsep tersebut Al-Ghazali mencoba menerapkan konsep pendidikan yang dibuat oleh Rasulullah semasa hidupnya. Sebab Rasul mendidik para sahabat ketika itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an.
B. Faktor Yang Mempengaruhi Pemikiran Al-Ghazali
Dengaan menyandang berbagai julukan seperti teolog terkemuka, ahli hukum, pemikir orisinil, ahli taswuf, tokoh pendidik, dan politikus serta “Hujjatul Islam”. Hal itu tidak mudah Al-Ghazali dapatkan, tetapi Al-Ghazali mengalami proses perjuangan yang panjang dan luar biasa, membutuhkan waktu yang cukup lama.
Bila dikaji lebih jauh lagi sangat menarik untuk di ikuti, tentang perjalanan hidup Imam Al-Ghazali dalam mencari ilmu pengatahuan. Masuk pada satu aliran dan berpindah dari satu aliran kealiran yang lain adalah satu hal yang biasa ia lakukan. Bahkan berpindah dari satu tempat ketempat lain, dengan satu tujuan yakni mendapatkan haqiqat kebenaran yang haqiqi. Sehingga tak heran bila Imam Al-Ghazali dikenal oleh umat manusia dipenjuru dunia dan mendapat gelar dari masarakat luas. Oleh karena itu, untuk mengetahui bagai mana corak pemikiran Imam Al-Ghazali serta apa yang mempengaruhi Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali, penulis mencoba dan berusaha, memahaminya dan memaparkannya yakni sebagai berikut:
1. Faktor Pendidikan
Melalui pendidikan yang didapatkanya diberbagai lembaga pendidikan, terutama di Universitas Nizhamiyah, serta pengembarannya dari satu daerah kedaerah lain, juga dari satu aliran kepada aliran yang lain membuat perkembangan pemikiran Al-Ghazali mulai berkembang serta pengkajiannya tentang ilmu pengetahuan seperti fiqih, tafsir, kalam dan lain sebagainya, terus dilakukannya seperti dialog-dialog intelektual dengan nuansa perdebatan menandakan upaya pencaraian kebenaran melalui argumentasi ilmiah.
Namun sangat disayangkan, dialog-dialog intelektual itu mengarah pada upaya mempertahankan doktrin aliran masing-masing. Aliran yang sangat populer ketika itu adalah aliran kalam, aliran filsafat, aliran tasawuf dan aliran batiniah. Hingga pada akhirnya Al-Ghazali menjatuhkan pilihan kepada aliran kalam dengan latar belakang untuk mempertahankan akidah Ahli As-Sunnah dan melindungi dari Ahli Al-Bid’ah ketika itu ia memandang akidah sunnah sedang dilanda krisis akibat serangan kaum Ahli Bid’ah.
Setelah mendalami ilmu kalam, Al-Ghazali melihat bahwa bahaya yang ditimbulkan ilmu kalam lebih besar dibanding manfaatnya, serta tidak mampu mencapai ilmu yang benaran dan tidak bisa mengenal Allah Ta’ala secara hakiki. Dengan alasan tersebut maka Al-Ghazali pun beralih dari aliran kalam ke aliran filsafat.
Sehingga ia bangkit mempelajari tentang hakikat fitrah manusia dalam beragama dan aliran paham filsafat dan lainnya dengan tujuan untuk mendapatkan “ilmu yaqin”, kemudian setelah dicapainya timbul lagi keraguannya. Pada aliran filsafat Al-Ghazali juga tidak menemukan sebuah kebenaran yang ia cari namun yang terjadi adalah Al-Ghazali malah menentang para filosof pada masanya dan mengecam mereka. Alasanya adalah menurut Al-Ghazali dalam aliran filsafat (para filosof) membahayakan akidah, melihat keadan tersebut beliau menulis buku yang berjudul Maqashid Al-Falasifah.
Walupun Al-Ghazali membenci dan mengkritik para filosof bukan berarti ia menolak semua faham-faham filsafat secara keseluruhan. Ketika melihat filsafat tidak mampu mengungkapkan ilmu metafisika, ditambah dengan kerancuan dalil-dalil yang mereka gunakan, maka Al-Ghazali meninggalkan filsafat setelah mengkritiknya melalui Tahafut Al-Falasifah, kemudian mendalami aliran batiniah.
Berlawanan dengan para filosof yang menggunakan rasiao sebebas-bebasnya maka kaum batiniah tidak mengakui peranan rasio. Mereka hanya mengakui dan menerima realitas-realitas dari imam yang ma’shum, yang menurut mereka selalu ada pada setiap masa. Mereka mengatakan satu-satunya cara yang benar untuk memahami ilmu adalah dengan metode pengajaran dari imam yang ma’shum. Alasan itulah yang membuat Al-Ghazali mudah menerima aliran batiniah dan sesuai dalam pemahamanya.
Namun pada akhirnya Al-Ghazali kembali mengkritik aliran batiniah sama halnya yang ia lakukan pada aliran kalam dan filsafat, dengan mengemukakan alasan bahwa liran batiniah yang tidak mengakui Al-Qur’an dan menyimpan tujuan politisi.
Akibat dari kritikan tersebut Al-Ghazali mengalami krisis pemikiran dan terjadi peperangan dalam pemikirannya serta hatinya dalam waktu yang cuklup lama. Hingga akhirnya ia menemukan tempat yang pas dan menjatuhkan pilihanya pada aliran tasawuf hingga ia dikenal dengan orang yang ahli dibidang tasawuf dan melahirkan karya terbesarnya yaitu Ihya ‘Ulum Ad Din ( M. Solihin: 2001:23-26).

2. Faktor Intelektual
Hal ini dibuktikan dengan banykanya kitab dan karangannya yang meliputi berbagai bidang disiplin ilmu pengetahuan, antara lain filsafat, ilmu kalam, fiqih, ushul fiqih, taswuf, akhlak, dan otobiokrafinya.
Baik dari kalangan ilmuan Islam maupun barat mengakui akan tingginya intelektual beliau. Seperti Syekh Musthafa Al-Maraghi telah mengakuinya dengan mengatakan:”Al-Ghazaliadalah ahli didalam berbagai ilmu pengetahuan, yaitu ahli ilmu ushul yang mahir, ahli fiqih yang berfikir merdeka, ahli teolog yang menjadi imam ahli sunnah, ahli sosiologi yang luas pengertiannya tentang masyarakat, ahli psikologi yang luas pandangannya tentang rahasia jiwa manusia, ahli filsafat yang berani membongkar segala kesesatan filsafat, ahli pendidik yang ulung, dan seorang sufi yang sangat zuhud, anda berhak menamakannya laki- laki yang haus ilmu pengetahuan, yang dahaga mencari kebenaran pada setiap cabang ilmu pengetahuan”(Zainuddin dkk:1991:14)
Oleh karena pantaslah Al-Ghazali mendapat seperti teolog terkemuka, ahli hukum, pemikir orisinil, ahli taswuf, tokoh pendidik, dan politikus serta “Hujjatul Islam”.
3. Faktor Politik
Imam Al-Ghazali hidup pada zaman raja-raja Daulah Saljuk Raya (Turki) yang berkuasa di Khurasan, Ray, Jibal, Irak, Persia, dan Ahwas. Pendiri Saljuk Raya adalah Rukununddin Abu Thalib Thugrul Bek. Al-Ghazali lahir pada akhir pemerintahan raja Thugrul yang saat itu berkuasa di Bagdad. Beliau hidup pada masa pemerintahan Adududdin Abu Syuja’Alp Arsalan, Jalaluddin Abul Fatah Malik Syah (II) dan Muhammad bin Malik Syah. Daulah Saljuk Raya berkuasa tahun 425 H / 1038 M – 590 H / 1193 M. Dengan Raja Sulthan terahir bernama Tagril Ibnu Arselan Ibn Toghril, yang mati terbunuh ditangan Khawarizmsyah, Raja Daulah Khawarizmi bekerja sama dengan Khalifah Al-Nashir Li Dinillah (AL-Ghazali:1994:20)
Pada masa raja –raja Saljuk berkuasa di Persia, Irak, dan lain-lain, ternyata Bani Fathimiyah berkuasa di Maroko dan mesir mereka menginkan untuk menguasai negri-negri Timur dengan melalui propaganda yang banyak mengandung tahyul dan kesesatan ,sehingga dikalangan ummat Islam terjadi kebekuan pemikiran, apalagi pada saat yang sama muncul tentara –tentara Salib dari Barat dengan dalih untuk membebaskan orang –orang Kristen di Timur yang diganggu umat Islam. Imam Al-Ghazali hidup pada zaman raja-raja Daulah Saljuk Raya (Turki) yang berkuasa di Khurasan, Ray, Jibal, Irak, Persia, dan Ahwas. Pendiri Saljuk Raya adalah Rukununddin Abu Thalib Thugrul Bek.Al-Ghazali lahir pada akhir pemerintahan raja Thugrul yang saat itu berkuasa di Bagdad. Beliau hidup pada masa pemerintahan Adududdin Abu Syuja’Alp Arsalan, Jalaluddin Abul Fatah Malik Syah (II) dan Muhammad bin Malik Syah. Daulah Saljuk Raya berkuasa tahun 425 H / 1038 M – 590 H / 1193 M. Dengan Raja Sulthan terahir bernama Tagril Ibnu Arselan Ibn Toghril, yang mati terbunuh ditangan Khawarizmsyah, Raja Daulah Khawarizmi bekerja sama dengan Khalifah Al-Nashir Li Dinillah
(AL-Ghazali,:1994:20)
Peristiwa tersebut muncullah mobilisasi orang-orang Eropah untuk membela orang-orang keristen di Timur dan mengeluarkan kaum muslimin dari Baitul Maqdis Akhirnya Baitul Maqdis berhasil dikuasai ,sedangkan jumlah kaum muslimin yang gugur pada waktu itu sekitar 70.000.orang . Akibat kekuasaan Bani Fathimiyah dan fatwa-fatwa peminpin keagamaan mereka yang membenarkan kultus individu serta pandangan pandangannya yang menyimpang dari keIslaman yang tersebar luas dikalangan kaum muslimin, maka telah melemahkan fikiran mereka sehingga tidak berhasil menangkal serangan tentara-tentara Salib.
Selain masalah perang salib yang dihadapi kaum muslimin, pada masa Imam
Al-Ghazali hidup, banyak sekali diantar peminpin Negara dan ulama-ulama penjilat yang mengelabui masyarakat untuk mendapatkan keuntungan –keuntungan duniawi. Bahkan pada masa tersebut banyak ulama –ulama yang mengadu kekuatan dengan berdebat ilmu pengetahuan dan agamanya, tetapi dibalik itu semua mereka ingin dipuji dan sanjungan dari masyarakat. Sehingga tepat sekali Al-Ghazali menggambarkan masyarakat pada masa itu sebagai orang-orang taqwa yang palsu, bahkan orang sufi yang palsu, yang akan menipu manusia dengan taqwanya. (Hussein Bahreisj:1981:18)
Keadaan tersebut bertambah karena, pada masa itu ummat Islam terpecah-pecah dalam berbagai mazhab dan golongan dengan pandangannya yang saling bertentangan akibat dari masuknya pengaruh anasir kebudayaan Yunani dan lainya. Selain itu para ulama tasawuf juga mengembangkan teori- teori baru dalam dalam mencapai tingkatan makrifat.
Walaupun kebanyakan para ulama tasawuf pada saat itu mengajak kepada kehidupan taswuf secara murni, maka timbullah kekacauan hidup kerohanian ditengah-tengah perpecahan umat islam. Bahkan banyak dikalang ulama-ulama yang mengaku –ngaku dirinya sebagai Imam yang ma’sum yang memiliki Ilmu Pengetahuan yang khusus, kemudian timbul pula suara-suara yang meragukan kebenaran yang haq yang cenderung membawa pada kesesatan dan kerusakan .Akhirnya dikalangan umat Islam saat itu timbul keragua-raguan terhadap kebenaran ajaran agamanya. Dalam situasi kekacauan inilah Al-Ghazali terdorong oleh rasa tanggung jawab untuk memperbaiki kekacauan pemikiran dan perbuatan yang menggoncangkan kehidupan Islam.
(Ali Al- Jumbulati, Abdul Futuh At-Tuwaanisi:2002:128-130).
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan dari pemaparan diatas tentang pemikiran pendidikan Islam Al-Ghazali, maka dapat diambil kesimpulan antara sebagai berikut:

a. Dalam konsep pendidikan pendidikan Al-Ghazali tujuan pendidikan anak adalah menjadikan anak didik orang yang cerdas intelingensinya dan juga emosionalnya, atau menjadikan anak didik yang dapat mencapai kebahagian dunia dan akhirat
b. Kurikulum dalam konsep pendidikan oleh Al-Ghazali tebagi menjadi dua yakni fardhu ‘Ain dan fardhu Kifayah, hal tersebut sesuai dengan konsepnya tentang pendidikan Islam.Sedangkan metode beliau menggunakan metode keteladanan yakni memberikan contoh.
c. Peserta didik dan pendidik adalah orang yang sangat mulia dalam hal ini Al-Ghazali mengatakan keduanya haruslah orang yang bersih jiwanya ikhlas, dan sabar, dalam memberikan pelajaran dan menerima pelajaran, serta mengajarkan, dan mempelajari ilmu pengetahuan yang bermanfaat didunia dan akhirat, sesuai dengan tingkatan dan kemapuan anak didik tersebut. Sedangkan evaluasi adalah harus dilakukan untuk menguji kemampuan anak didik sejauh mana ia menyerap pelajaran yang diberikan dan kedekatannya kepada Allah.
d. Pemikiran pendidikan Islam Al-Ghazali dipengaruhi beberapa faktor yakni , faktor pendidikan, faktor intelektual, faktor politik, yang ada pada saat itu.
e. Pendidikan Islam yang telah kemukan Al-Ghazali diatas pada bab III menurut hemat penulis, perlu diperhitungkan dan acuan dalam pengembangan pendidikan Islam kedepan, termasuk Indonesia sebab pendidikkan Indonesia sudah lari dari falsafah bangsa, dengan kata lain pemikiran pendidikan Islam Al-Ghazali tersebut masih relevan diterapkan dalam dunia pendidikan terutama pendidikan Islam.
B. Saran-saran
Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis akan memberikan saran –saran sebagai berikut:
1. Berangkat dari pemikiran pendidikan Islam Al-Ghazali diatas, maka bagi orang yang akan berkecimpung dalam dunia pendidikan kiranya dapat menjadikan pemikiran Al-Ghazali sebagai bahan pandangan, acuan dalam mengembangkan pendidikan Islam kedepan.
2. Pendidikan Islam kedepan membutuhkan orang –orng yang berkompeten dibidang pendidikan, agar anak –anak bangsa menjadi anak yang berkualitas secara intelektual dan emosianal, oleh karena itu bagi guru jangan lah lari dari falsafah pendidikan itu sendiri.
3. Dalam penelitian ini mungkin masih banyak kekurang dan kesalahan, dan mungkin masih banyak pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan Islam yang belum terungkap, maka diharapkan pada peneliti lain untuk bisa mengkaji lebih dalam lagi, supaya terdapat konsep yang ideal.

















BIODATA PENULIS
NAMA : SAWALUDDIN SIREGAR
LAHIR :SORIMADINGIN LAMA 15 JULI 1984
UMUR : 26 TAHUN
PENDIDIKAN: 1.SDN INPRES BATANG ANGKOLA

2. MTS.IDRISIYAH PASILNAULI
3. PONDO PESANTREN MUSTHOPAWIYAH
4.UNIVERSITAS ISLAM RIAU
STATUS : BELUM NIKAH
HOBBI : MEMBACA
CITA-CITA : DOSEN
MOTTO : RAIHLAH KESUKSESAN DENGAN BEKERJA KERAS DI IRINGI DENGAN DO’A DAN NIAT YANG IKHLAS, SERTA BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA.









DAFTAR PUSTAKA
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998

Anwar, Saeful, Filsafat Ilmu Al-Ghazali, Pustaka Setia Bandung, 2007

Al-Ghazali, Imam, Ihya’Ulumuddin, C.V. Bintang Pelajar, 1981

--------------, Rahasia Ketajaman Mata Hati, Terbit Terang Surabaya.1999
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1992
Ahmad,M. Yusuf, Kompetensi dan Peranan Guru Menurut Pandangan Al- Ghazali. Tesis 2007
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, A-Ma’arif Bandung, 1989
Asy’Ari, Imam, Petunjuk Teknis Menulis Naskah Ilmiah, Usaha Nasional Surabaya Indonesia, 1984

Al- Jumbulati, Ali, Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Rineka Cipta, 2002

Arifin, M. H, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1991

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Jakarta 2006

Beavers, Tedd D. Paradigma Filsafat Pendidikan Islam, Riora Cipta, Jakrta, 2001

Bahreisy, Husein, Ajaran-Ajaran Akhlak Imam Ghazali, AL-Ikhlas Surabaya, 1981

C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991

Departemen Agama Republik Indonesia, AL-Qur’an dan Terjemahannya, CV Karya
Utama Surabaya, 2005

Daut Ali, Muhammad, Pendidikan Agama Islam, PT. Rajagrapindo Persada, Jakarta, 2006
Dairi, Rizal, Metodologi Penelitian Berbasis Kompetensi, UIR, Press, 2008

Daen Indra Kusuma Amir. Pengantar Ilmu Peendidikan Usaha Nasional, Surabaya, 1973

Djainuri, Achmad, Pendidikan dan Medernisasi di Dunia Islam, Al-Ikhlas Surabaya, 2001
Daudy, Ahmad, Segi-segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta 1984

Daradjat dkk, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, 2006

Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina Utama, Semarang, cet I, 1993

Hartono, Strategi Pembelajaran LSFK2P (Pekanbaru)

Hitami, Munzir, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam, Infnite Press Pekanbaru, 2004
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT. Pustaka Panji Mas, Jakarta, cet XI, 1984.

Ihsan, Fuad, Dasar-Dasar kependidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2003

Ihsan,Hamdani, Dan A.Fuad Ihsan , Filsafat Pendiddikan islam,Bandung: CV Pustaka Setia,2001

Jawwad Ridlah Muhammad, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam(Persfektif Sosiologis –Filosofis ) Tiara Wacana Yogyakarta 2002

Klik skripsi.blogspot.com /2009/08/pa

Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Pustaka Al-Husna Baru, Jakarta, 2003

---------------, Pendidikan Islam Dalam Abad Ke 21, Pustaka Al-Husna Baru, Jakarta, 2003

Nawawi, Hadari, Pendidikan Islam, AL Ikhlas, Surabaya, 1993

Nata, Abuddin, Filsafat Penddikan Islam, Logos, 2001

----------------, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, PT. Rajagrapindo Persada, Jakarta, 2003

-----------------, Filsafat Penddikan Islam, Edisi Baru, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2005

-----------------, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta, 199

Nakosteen Mehdi, Kontribusi Islam atas Pendidikan Intelektual Barat Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 2003

Nasution. S. Asas-asas Kurikulum Jemmars Bandung, 1988

Masyhur H.Kahar, Meninjau Berbagai Ajaran, Kalam Mulia Jakarta 1986
Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Omar, Falsafah Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975

One, indoskripsi. Com/clik 8396/0

Soebahar, Abd. Halim, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2002

Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan Aksara, Jakarta 1981

Subroto, Suryo, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta 1997

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Universitas Indonesia Jakarta, 1993

Susanto. A. Pemikiran Pendidikan Islam, Amzah, Jakarta, 2009

Sunarto, Konsep Imam Al-Ghazali Tentang Pemerintahan Islam, skripsi PAI UIR, 2004

Sanaky Hujair AH, Paradigma Pendidikan Islam Safiria Insani Press Yogyakarta, 2003

Solihin, M,Epistimologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, Pustaka Setia Bandung, 2001

Sudarto, Metodologi Penelitian Fitsafat, PT, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1997

Syar’I, H. Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Firdaus, 2005

Tafsir, Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1995

------------------, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung 1992

Tholkhah, DR.Imam dan Ahmad Barizi, M.A Membuka Jendela Pendidikan, PT, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004

Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Pustaka Setia Bandung, 1997

UU RI No 20 Tahun 2003,Tentang Sistem Pendidikan Nasional Guru dan Dosen, Tim Merah Putih, 2007

Yusuf A, Muri. Pengantar Ilmu Pendidikan, Ghalia Indonesi, Jakarta, 1982

Zainuddin Dkk,Seluk Beluk Pendidikan Al-Ghazali, Bumi Aksara ,Jakarta ,1991

Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, J